"Ada saja yang beli. Makanya masih jual. Tapi tetap banyakan (jual) merk lokal," ungkap Rohman kepada detikFinance, saat ditemui di Proyek Pasar Pagi, Jakarta Barat, Senin (10/7/2017).
Rohman mengatakan, pembeli alat tulis impor asal China biasanya tidak mengutamakan kualitas dalam membeli. Seperti masyarakat kalangan bawah, yang mementingkan harga murah, serta perkantoran atau restoran yang tidak fokus menjadikan pulpen sebagai kebutuhan utama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya orang-orang yang penghasilannya pas-pasan kan yang penting ada, enggak pikir kualitas. Kantor-kantor juga masih ada beberapa (beli alat tulis impor), restoran juga kan buat nulis pesenan. Itu kan enggak mesti bagus, yang penting nyata," ujarnya.
Seperti diketahui, harga pulpen impor memang memiliki selisih sekitar 20% dibandingkan produk lokal. Jika pulpen lokal paling murah dihargai sekitar Rp 12.000 per lusin, pulpen impor dijual dengan harga Rp 8.000 per lusin.
Harga yang murah ini sebanding dengan kualitasnya.
"Pulpen China gampang bocor, macet-macet. Apalagi kalau diperhatikan lebih jeli, isi pulpennya gak penuh, kaya pulpen kita (lokal). Pensilnya juga gitu, kaloau habis diserut, cepet patah. Enggak kuat," tutur Rohman. (hns/hns)