"Karena trotoar dijadikan tempat berjualan, galian kabel, reklame, parkir dan juga dijadikan sebagai tempat pedagang kaki lima," ungkap Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus kepada detikFinance, Minggu (16/7/2017),
Padahal menurut Alfred, para pedagang yang berada diatas trotoar tidak jarang merupakan pedagang legal yang berada di bawah binaan Dinas Koperasi, UMKM dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, keselamatan pejalan kaki pun dipertaruhkan akibat tidak sterilnya trotoar. Pejalan kaki terpaksa harus berjalan di jalan raya, karena fasilitas mereka di ambil alih para pengendara motor, juru parkir, hingga pedagang kaki lima yang justru menguasai trotoar.
"Karena ketika trotoar dipakai pedagang kaki lima, permanen loh tempat berjualannya, Otomatis pejalan kaki jalan di jalan raya. Ketika pejalan kaki tertabrak di jalan raya, apakah hak kekuatan hukum pejalan kaki masih ada? gak ada," terangnya.
Alfred menyebut, cukup banyak titik trotoar yang tersebar di wilayah Jakarta khususnya Jakarta Selatan yang menjadi lokasi binaan Dinas Koperasi, UMKM dan Perdagangan Pemprov DKI Jakarta.
"Trotoar di kawasan Barito, Halimun, sebelah KPK itu trotoarnya dijadikan kawasan binaan, dan masih banyak lagi terutama di wilayah-wilayah selatan. Ada juga di dekat Kota Tua arah Mangga Dua. itu banyak sekali tenda Pemprov diatas trotoar, itu legal loh," jelasnya.
![]() |
Pada saat yang sama ada transportasi yang menawarkan tarif murah untuk setiap perjalanannya. Padahal berjalan kaki mampu memberikan penghematan yang cukup besar bagi setiap orang. Misalnya dengan berjalan kaki dari rumah menuju ke kantor. Aktivitas tersebut tentu akan memberikan penghematan, terutama dari sisi pengeluaran ongkos transportasi.
Jika menggunakan jasa ojek, perjalanan dari rumahnya di Citayam, Depok, menuju kantornya di Sarinah, Thamrin, dirinya harus mengeluarkan kocek sekitar Rp 80 ribu per hari.
"Ya penghematannya bisa lebih dari setengahnya. Kalau pakai ojek bisa Rp 80 ribu sehari," ungkapnya.
Sementara itu, apabila dia mengganti jasa ojek dengan berjalan kaki, dari rumahnya ke stasiun sekitar 1,5 km dan dari stasiun ke kantor hampir 1 km selama 10-15 menit, maka Alfred bisa menghemat sekitar Rp 50 ribu per hari. Dengan demikian Alfred hanya membutuhkan Rp 25-30 ribu per hari untuk biaya ongkos transportasi ke kantor.
"Kalau enggak naik ojek cuma Rp 25-30 ribu sehari. Rp 50 ribu kita bisa saving setiap hari, dengan jarak pendek menggunakan ojek. Kalau dikali 25 hari kerja sudah berapa?" jelasnya.
Artinya, melalui kebiasaan berjalan kaki, dalam sebulan Alfred bisa menghemat ongkos hingga Rp 1.250.000. Sedangkan alokasi untuk biaya ongkosnya dalam sebulan tidak lebih dari Rp 350 ribu.
Meski terbukti lebih hemat, namun banyak alasan yang memicu masyarakat tidak mau berjalan kaki. Misalnya kondisi trotoar yang tidak terawat serta maraknya pedagang dan lahan parkir yang beraktivitas di atas trotoar.
(mkj/mkj)