"Gini ratio stagnan, hampir tidak mengalami perubahan dibandingkan September 2016," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto saat jumpa pers di Jakarta, Senin (17/7/2017)
Sedangkan, apabila dibandingkan dengan gini ratio pada Maret 2016 juga hanya turun sebesar 0,004 poin. Gini ratio pada Maret 2016 sebesar 0,397.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu gini ratio di wilayah pedesaan pada Maret 2017 sebesar 0,320, atau naik dibanding gini ratio pada bulan September 2016 yang sebesar 0,316 dan turun dibanding gini ratio Maret 2016 yang sebesar 0,327.
Pada Maret 2017, distribusi pengeluaran pada kelompok 40% terbawah adalah sebesar 17,12%. Artinya, pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah.
Sementara, jika dirinci menurut wilayahnya, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 16,04%, angka tersebut berada pada kategori ketimpangan sedang. Sedangkan untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 20,36% yang berarti masuk dalam kategori ketimpangan rendah.
Kemudian, bila dilihat dari tingkat ketimpangan berdasarkan provinsinya, tingkat ketimpangan tertinggi yaitu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan gini ratio mencapai 0,432. Sedangkan provinsi yang tingkat ketimpangannya paling rendah yaitu Provinsi Bangka Belitung dengan gini ratio 0,282.
Salah satu ukuran ketimpangan yang sering digunakan adalah gini ratio yang nilainya berkisar 0-1. Semakin tinggi nilai gini ratio, menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi antara orang kaya dan yang miskin.
Suhariyanto mengungkapkan, memang diperlukan upaya yang cukup keras dan waktu yang tak sebentar untuk dapat mengurangi tingkat ketimpangan yang ada.
"Bukan upaya mudah menurunkan gini ratio ini, karena membutuhkan roadmap jangka panjang. Gini ratio pun kalau mau dilihat perkembangannya ya minimal tiga tahun baru kelihatan," tukasnya. (mkj/mkj)