Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Muhammad Firdaus, mengatakan praktik pencampuran beras biasa dilakukan pedagang besar sampai ke tingkat eceran di pasar tradisional.
"Pertama bukan mengoplos, tapi istilahnya mencampurkan, itu sangat lazim, pedagang pun sering melakukan itu. Tujuannya agar didapat rasa lebih baik dan menciptakan merek dengan kualitas tertentu," jelas Firdaus kepada detikFinance, Senin (24/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Tuduhan Satgas Pangan dan Bantahan PT IBU |
Diungkapkannya, mencampur beras sebagaimana yang dilakukan IBU itu menciptakan merek dagang Maknyuss dan Cap Ayam Jago bukan tindakan curang, selama tidak ada unsur penipuan di dalamnya. Hal ini bisa dilihat dari jenis dan kandungan beras yang tercantum pada label kemasan.
Seperti diketahui, IBU membeli gabah petani dari varietas IR 64, Ciherang, Inpari, dan varietas lainnya. Dengan standar yang sudah ditetapkan, perusahaan kemudian mencampur beras dari berbagai tersebut untuk kemudian diproses lagi sehingga sesuai standar mutu perusahaan seperti tingkat broken, keputihan, kebersihan, kadar air, dan penampilan fisik lainnya.
Jika sudah memenuhi standar kualitas beras premium sesuai ketentuan perusahaan, barulah kemudian beras dikemas dalam merek dagang Maknyuss dan Cap Ayam Jago.
"Selama tidak menipu itu bukan masalah. Yang enggak boleh ketika pengusaha pakai zat kimia pada berasnya, pakai pemutih dan sebagainya. Pengusaha memberi jaminan kualitas berasnya bersih, putih, dan enak. Kemudian konsumen membayar lebih mahal saya kira tak masalah," ungkap Firdaus.
Beras dan kopi
Dia kemudian menganalogikan beras dengan kopi yang juga sering 'dioplos' oleh pedagang kopi. Banyak pedagang beras, katanya, mengoplos beras untuk menciptakan standar kualitasnya sendiri.
"Anda minum kopi lebih mahal, padahal jenis kopinya sama seperti Anda beli dari petani kopi. Beras dicampur agar bisa menghasilkan pulen, sangat pulen, agak pulen. Konsumen senang dan mau membayar lebih mahal di supermarket dengan harga premium," ujar Firdaus.
"Argumentasi pemerintah itu pengusaha membeli produk yang disubsidi, dan menjualnya ke konsumen dengan harga mahal. Saya pernah meneliti bersama Bank Dunia tahun 2012, bahwa efektivitas subsidi pupuk itu 40% yang benar-benar sampai petani," terang Firdaus.
Lanjut dia, subsidi pupuk juga digunakan petani lain selain komoditas beras.
"Subsidi kan juga dinikmati petani kentang, petani cabai, petani bawang, dan lainnya. Kemudian satu waktu ada pedagang menjual cabai dengan harga tinggi, apakah itu kemudian bisa disalahkan? Ini masalah rumit, karena penerima subsidi pupuk itu banyak, bukan hanya padi saja," tandas Firdaus. (idr/hns)