Secara bahasa, pailit berasal dari bahasa Prancis yaitu failite yang dalam bahas Indonesia diterjemahkan menjadi kemacetan pembayaran. Adapun secara hukum, sesuai UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dikutip detikFinance, Senin (7/8/2017), pailit dapat dijatuhkan apabila debitor:
1. Mempunyai dua atau lebih kreditor, dan:
2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
3. Baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor," demikian penjelasan pasal 1 ayat 7.
Sehingga, apabila sebuah perusahaan memiliki 2 utang yang belum dibayar, maka perusahaan itu sudah memenuhi syarat untuk dipailitkan.
Lalu bagaimana dengan bangkrut? Istilah bangkrut tidak dikenal dalam UU Indonesia. Istilah bangkrut berasal dari bahasa Inggris yaitu Bankruptcy. Sedangkan di Indonesia, bangkrut oleh KBBI didefinisikan 'menderita kerugian besar hingga jatuh' atau 'gulung tikar'.
Dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-VI/2008, Rizal Ramli menyebut kebangkrutan karena dua sebab, yaitu:
1. Faktor-faktor eksternal di luar kewenangan pengusaha. Sebagai contoh, kebijakan IMF menutup sejumlah bank di Indonesia yang juga mempunyai dampak pada pengusaha-pengusaha maupun buruh.
2. Missmanagement, seperti pada tahun 1998 IMF memaksa menutup sejumlah bank di Indonesia sehingga bank-bank di Indonesia bangkrut, banyak perusahaan di Indonesia juga bangkrut.
"Baik pengusaha Indonesia sendiri maupun buruhnya hanya korban dari satu kebijakan IMF yang tidak dipikirkan matang," kata Rizal dalam sidang pada 2008 sebagai saksi ahli.
Lalu, bagaimana hak karyawan bila sebuah perusahaan pailit? Berdasarkan putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013 yang diketok pada 11 September 2014, MK memutuskan hak karyawan sesuai UU Ketenagakerjaan harus lah didahulukan. Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan haruslah dimaknai:
Pembayaran upah pekerja/buruh yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditur, termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis.
Atas dasar itu, Nyonya Meneer masuk kategori pailit sesuai putusan PN Niaga Semarang namun tidak bangkrut.
Sebagaimana diketahui, Presiden Direktur PT Njonja Meneer, Charles Saerang, mengungkapkan dirinya cukup kaget dengan kabar putusan pailit pada perusahaan yang dirintis keluarganya tersebut sejak zaman Hindia Belanda tersebut.
"Pokoknya itu ada yang iseng saja itu. Kita mau tahu saja itu, perusahaan tak ada masalah kok. Saya juga kaget, saya juga terkejut, kok bisa begitu, apa yang terjadi. Saya lagi di luar kota ini. Tadi baru tahu ada berita-berita ini, ada apa ini sebenarnya. Saya mau cek," kata Charles kepada detikFinance, pekan lalu. (asp/dna)