Pemerintah Harus Cermat Kalkulasi Barter Hasil Kebun dengan Sukhoi

Pemerintah Harus Cermat Kalkulasi Barter Hasil Kebun dengan Sukhoi

Muhammad Idris - detikFinance
Kamis, 10 Agu 2017 19:08 WIB
Foto: AFP
Jakarta -
Pemerintah tengah mematangkan rencana pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35 lewat barter dengan komoditas hasil perkebunan seperti sawit, kopi, teh, kakao, dan karet. Rencana barter tersebut saat ini masih dibahas di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertahanan.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengungkapkan barter sudah lumrah dilakukan antar negara, namun pemerintah perlu mencermati keuntungan jangka panjang, sekaligus risiko yang mungkin timbul dari perjanjian imbal dagang atau counter trade tersebut.

"Harus cermat dalam kalkulasinya, Sukhoi berapa harganya, misalnya satu pesawat US$ 100 juta, perlu dihitung berapa kira-kira potensi pasar baru yang timbul dari misalnya US$ 100 juta untuk kopi. Kenaikan ekspornya berapa, harus bisa dihitung. Jangan asal barter, tapi tidak dikalkulasi dulu," ujar Enny kepada detikFinance, Kamis (10/8/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Selain dari sisi nilai, hitung-hitungan barter juga harus mencakup aspek lainnya seperti kemudahan-kemudahan apa yang didapat produk ekspor Indonesia ke Rusia, fasilitas bebas tarif bea masuk salah satunya. Lebih jauh lagi, termasuk menaksir potensi pertumbuhan ekspor komoditas ke Rusia pasca barter.

"Kita berikan kemudahan Rusia ekspor pesawat ke kita, lantas apa kemudahan yang diberikan Rusia untuk produk kita. Apa kemudahan-kemudahan yang ditawarkan sehingga produk kita bisa lebih besar penetrasinya ke pasar mereka, apakah potensinya bisa laris atau tidak," jelas Enny.

"Persoalannya bukan barternya, tapi apa pemerintah sudah punya hitungannya. Jangan nanti malah merugikan Indonesia. Intinya perlu ada kalkulasi dulu," imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), Fadhil Hasan, mengatakan pemerintah memang perlu berhitung dengan matang terkait untung rugi barter tersebut. Menurutnya, beberapa komoditas Indonesia seperti sawit pun sebenarnya permintaannya sudah cukup tinggi ke Rusia meksi tanpa counter trade.


"Perlu dihitung kemapuan misalnya BUMN yang ditunjuk untuk mengekspor komoditas ke Rusia. Apakah dia mampu memenuhi kuota sesuai nilai pesawatnya, karena memenuhi suplai misalnya sawit dalam volume sekian, juga perlu perencanaan. Sawit ke Rusia ekspornya terus meningkat," ungkap Fadhil.

Sebagai informasi, tahun lalu, nilai perdagangan antara Indonesia dan Rusia mencapai US$ 2,11 miliar, dengan Indonesia menikmati surplus sebesar US$ 411 juta. Nilai perdagangan tersebut mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan nilai perdagangan tahun 2015 sebesar US$ 1,9 miliar.

Ekspor non migas Indonesia ke Rusia tumbuh sebesar 8,5% dakam 5 tahun terakhir dengan nilai ekspor pada tahun 2016 sebesar US$ 1,3 miliar. Pada periode Januari-Mei 2017, total perdagangan Indonesia-Rusia juga mengalami peningkatan 54,43% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan nilai US$ 1,12 miliar.


Indonesia masih mengalami surplus perdagangan dengan Rusia sebesar US$ 77,45 juta dengan nilai ekspor sebesar US$ 599,97 juta. Produk ekspor utama Indonesia ke Negeri Beruang Putih tersebut yakni kelapa sawit dan turunannya, kopi, karet, minyak kelapa, dan coklat.
(idr/hns)

Hide Ads