Permasalahan pajak bagi penulis dimulai dari keluhan Tere Liye yang menilai tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 terhadap royalti penulis buku 15% terlalu tinggi. Hingga akhirnya Tere Liye berhenti menerbitkan seluruhnya. Pasalnya, penulis hanya mendapat royalti dari penerbit sebesar 10% dari harga jual buku.
Terkait dengan hal itu, berbagai usulan untuk mengatasi persoalan pajak bagi penulis banyak dilontarkan. Salah satunya meminta pemberlakukan PPh final seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah dengan tarif 1% dengan omzet maksimal Rp 4,8 miliar.
Sri Mulyani menjelaskan, bahwa pengenaan pajak untuk setiap profesi berbeda-beda. Sebab, setiap profesi memiliki karakter yang berbeda-beda pula. Apalagi dibandingkan dengan UMKM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, bila profesi penulis mengikuti pengenaan pajak seperti UMKM, yakni dengan PPh final 1%, maka akan dikenakan pajak ketika penjualan bukunya tidak seperti yang diharapkan.
"Jadi setiap kebijakan pasti ada pro kontranya, kalau sekarang penjualan bukunya tidak banyak, maka royalti di bawah PTKP (penghasilan tidak kena pajak) ya dia tidak kena pajak. Kalau di atas itu kemudian kena 15%, 20% sampai paling tinggi kalau penjualan laku banget, tapi itu berjenjang," terang Sri Mulyani.
Kendati demikian, Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan berlaku adil terhadap pengenaan pajak kepada setiap orang dan profesi.
"Nanti (besok) bisa dibandingkan, kalau anda mendapat sekian berapa yang harus dibayar pajaknya. Maka dia bisa bandingkan yang mana untung ruginya," tukasnya. (mkj/mkj)











































