Sevel Hingga Debenhams Tumbang, Ini Penjelasan Pengusaha

Sevel Hingga Debenhams Tumbang, Ini Penjelasan Pengusaha

Hendra Kusuma - detikFinance
Jumat, 27 Okt 2017 07:03 WIB
Foto: Dok
Jakarta - Toko-toko ritel di dalam negeri satu-persatu tutup. Yang terpantau media mulai dari 7-eleven, gerai Matahari di Pasaraya Manggarai dan Blok M, Lotus, dan terakhir Debenhams. Ada apa?

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani, mengatakan tingkat kepercayaan masyarakat dalam membelanjakan dana yang dimilikinya masih terhambat oleh tingkat kepercayaan yang dibangun pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya.

Kebijakan yang dimaksud, adalah seperti pajak yang gencar mengejar pemasukan. Ini dinilai merusak kenyamanan masyarakat membelanjakan dananya, baik itu untuk konsumsi maupun investasi atau ekspansi bisnis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bahwa kita ini harus ada kepercayaan, saya tidak membahas lagi soal dana di bank ada berapa, tapi kepercayaan yang kita bangun antara pemerintah dan swasta jalan sama-sama," kata Rosan di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis malam tadi.



Menurut Rosan, lesunya daya beli yang menyebabkan pusat perbelanjaan hingga ritel tutup bukan karena masyarakat tidak memiliki duit, namun lebih karena masyarakat menahan diri.

"Masalahnya bukan kita enggak ada duit, kita ada duit tapi orang enggak spending (belanja), duit banyak di bank kenaikannya cukup signifikan, tetapi orang tidak investasi," jelas dia.


Guna menggeliatkan daya beli masyarakat serta meramaikan penjualan-penjualan produk di pusat perbelanjaan ataupun ritel, Kadin mengusulkan adanya pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan jangka waktu yang ditentukan.

"Kami juga usulkan terobosan-terobosan selama misalnya 1 minggu orang belanja enggak dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), supaya orang itu spending," katanya.


Rosan juga mengatakan, penyebab tutupnya pusat perbelanjaan dan juga ritel di DKI Jakarta karena perubahan pola belanja, ditambah pola belanja konsumen yang makin irit.

"Itu karena shifting (peralihan) dari offline ke online, ditambah lagi orang tidak spending," kata Rosan.

Namun dia menyebutkan, saat ini nilai transaksi masyarakat secara online memang baru mencapai sekitar 2% dari total transaksi perdagangan. Tidak hanya itu, dia juga menyadari secara penerimaan pajak, khususnya pajak pertambahan nilai (PPN) memang ada peningkatan, namun hal tersebut belum berarti memastikan daya beli masyarakat tidak bermasalah.

"Secara keseluruhan memang dari pajaknya tidak menurun tetapi ada shifting, dari yang pengusaha di bawah ini memang alami penurunan," sebut dia.

Rosan mengungkapkan, pemerintah saat ini tengah menyiapkan satu kebijakan khusus mendongkrak nilai daya beli masyarakat.

"Ini masalah kepercayaan, oleh sebab itu ini pemerintah akan membuat sesuatu seperti tax amensty sosialisasinya tapi dalam bentuk pendorongan daya beli," tukas dia. (wdl/wdl)

Hide Ads