Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Tutum Rahanta, penutupan toko-toko ritel belum berhenti alias masih berlanjut. Namun, Tutum enggan mengungkap identitas toko-toko ritel tersebut.
Dia hanya menjelaskan, ritel yang akan tutup itu kebanyakan bergerak di sektor non makanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya hampir merata. Tapi yang besar adalah dari industri non-food. Kalau food pasti ngerem, jadi baru bilang kalau sudah mau tutup," kata Tutum dalam diskusi Warung Daun, Cikini, Sabtu (28/10/2017).
Lebih lanjut, ia menjelaskan rencana penutupan toko itu berdasarkan konfirmasi yang ia peroleh langsung dari para pengusaha.
"Ini ada beberapa toko yang sudah konfirmasi ke saya, akan tutup sekian toko atau pertumbuhannya akan saya kurangi'," jelas Tutum.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, menambahkan penurunan penjualan toko rite modern paling banyak diderita oleh segmen non makanan, contohnya fesyen.
"Yang menarik ini karena pergeseran pola konsumsi belanja kalangan menengah. Mereka selain melek digital dengan banyak yang belanja di e-commerce, juga karena ada pergeseran konsumsi. Daripada buat beli baju, anak muda sekarang lebih suka makan di restoran, nongkrong lama di kafe. Makanya restoran tetap survive. Sementara toko elektronik dan fesyen tertekan," jelas Bhima beberapa waktu lalu.
Pergeseran pola konsumsi anak usia muda yang menomorduakan kebutuhan sandang, kata dia, yang jadi salah satu kontribusi terbesar penurunan penjualan ritel modern di segmen fesyen.
"Fesyen ini ritel yang paling lesu. Generasi milenial yang usianya 18-35 tahun ini kan pangsa pasar terbesar. tapi mereka sekarang itu generasi yang lebih suka nongkrong lama di kafe, beli makan, enggak suka beli kendaraan karena ada online. Lebih suka sewa apartemen daripada ambil KPR. Yang menengah ke atas juga sama, lama-lama di kafe, pengeluaran beli kopi akhirnya naik," tutur Bhima. (hns/hns)