Tutupnya gerai-gerai ritel ini kerap dikaitkan oleh melemahnya daya beli masyarakat. Namun hal ini ditepis oleh Pengamat Ekonomi, Faisal Basri.
Menurut dia, rontoknya sejumlah pusat perbelanjaan itu lebih dikarenakan kurangnya manajemen strategi dari perusahaan-perusahaan ritel tersebut di tengah lajunya perubahan perilaku berbelanja masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faisal Basri menjelaskan, pertumbuhan ritel yang terlampau kencang membuat ritel di Indonesia mengalami oversupply. Jadi proses seleksi alamiah membuat saking kencangnya gerai-gerai ritel itu tumbuh membuat dia rontok satu per satu.
Selain itu, model bisnis yang tak bisa bersaing dengan pemain-pemain baru juga turut mendorong hal ini terjadi.
"Di Inggris juga begitu. Di Inggris banyak yang tutup tapi Primark (ritel modern di Inggris) naik meningkat luar biasa. Semua orang sekarang ke Primark karena murah dan kualitas bagus," ungkapnya.
"Jadi sekali lagi enggak mencerminkan penurunan daya beli. Kemudian ritel-ritel tadi, misalnya yang di Glodok, di Amerika Serikat kan juga mati yang namanya kayak pusat perbelanjaan elektroniknya," sambungnya.
Untuk itu, dia berharap pemerintah tak terkecoh jika ada pengusaha mal atau pengusaha ritel yang meminta relaksasi atau insentif mengenai pajak.
"Makanya jangan sampai pemerintah terkecoh. Sekarang pengurus mal dan sebagainya bilang, pengunjung sepi, minta tarif listrik diturunkan dan lain-lain. Nah ini nih si manja-manja. Dulu waktu ekspansi enggak mikir matang, sekarang dia minta perlindungan lah, fasilitas, subsidi, keringanan. Ya sudah mati, ya mati saja di situ sekalian," ujar dia.
"Jadi yang mati silakan mati. Karena alamiah. Karena mereka gagal untuk bersaing, terlalu lama di zona nyaman, padahal dunia berubah terus," pungkasnya. (eds/ang)