Hal ini disambut baik oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani.
"Konsekuensi masalah upah, enggak ada yang bisa dipuaskan. Buruh minta lebih, pengusaha minta turun. Tapi kan kita harus lihat dari kronologi sebelumnya kan, selama UU Nomor 13 diberlakukan tahun 2003 sampai sekarang, kan kenaikan upah enggak kira-kira kan. Ini kan sekarang mendingan, ada PP 78 orang bisa prediksi, naiknya dihitung inflasi plus pertumbuhan ekonomi," kata Hariyadi saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (6/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Acuan sebelumnya, bila mengikuti UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka UMP dihitung dari kebutuhan hidup layak, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, Hariyadi bilang penetapan UMP saat itu seringkali di luar prediksi pengusaha.
Berbeda dengan formula yang saat ini diikuti dari PP Nomor 78 Tahun 2015.
"Jadi sekarang orang ada pegangan, bisa ada perencanaan. Sebelumnya kan suka-suka saja, tergantung proses politik di lapangan kan. Masa di Bogor waktu itu pernah naik sampai 70 persen, waktu 2012. Ya bubar lah perusahaan di sana kan. Itu yang sekarang bisa diprediksi, pilihan terbaik," ujar Hariyadi.
Baca juga: Pengusaha Harus Terima UMP Naik 8,71% |
Hariyadi mengakui kenaikan UMP tak akan bisa memuaskan semua pihak. Hal ini akan tergantung pada kemampuan masing-masing perusahaan untuk mengikuti peraturan tersebut.
Kontribusi gaji karyawan terhadap keseluruhan biaya operasional perusahaan berbeda-beda. Contohnya, di bidang perhotelan saat ini pengeluaran untuk gaji karyawan berkisar antara 28-30%, berbeda dengan sektor padat karya yang bisa mencapai 70%.
"Kalau dibilang berat, ya kan pasti enggak bisa memuaskan semua pihak kan. Ada yang enggak bisa cover itu, terutama padat karya. Pilihannya bagaimana, kalau enggak malah enggak karuan. Tapi dengan PP 78, itu lebih membantu," tutur Hariyadi. (eds/hns)