Alasannya, karena kebijakan impor itu dirilis berdekatan dengan masa panen Februari nanti.
"Mengabaikan prinsip kehati-hatian menggunakan impor untuk mengguyur pasar, pasar khusus. Tapi ini sensitif karena ada masa panen," kata kata Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah dalam konferensi pers di kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (15/1/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dikarenakan adanya masalah data stok beras dalam negeri. Antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan masing-masing memiliki data yang berbeda.
Ombudsman juga memantau harga beras di 31 Provinsi pada 10-12 Januari 2018. Hasilnya, pertama, penyampaian informasi stok yang tak akurat kepada publik. Dalam hal ini Kementerian Pertanian kekeuh menyatakan bahwa produksi beras surplus dan stok cukup.
Namun Ombudsman menganggap tolok ukurnya terlalu sederhana, yakni sekadar berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertal jumlah dan sebaran stok beras secara riil.
Kedua, Hasil pantauan Ombudsman di 31 provinsi menyatakan stok di masyarakat memang pas-pasan dan tidak merata. Namun impor dilakukan menjelang panen sehingga diperlukan kehati-hatian.
Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah menambahkan, Ombudsman mengharapkan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian bisa duduk bersama membahas secara baik mengenai situasi harga beras yang mengalami kenaikan.