Namun, tinggal di negara besar seperti AS bukan menjadi hal yang mudah untuk ditaklukkan. Sebelum akhirnya bisa memulai bisnis sendiri, Andri menjajal sejumlah pekerjaan serabutan.
Mundur 13 tahun ke belakang, Andri Suprayitno bercerita kepada detikFinance bagaimana dia bermimpi di bangku sekolah hingga akhirnya memulai petualangannya di AS. Simak kisahnya berikut ini:
Andri mengaku ingin berkuliah di jurusan yang bisa membawanya keliling dunia, namun tanpa harus banyak menghabiskan banyak waktu duduk di dalam perpustakaan. Dia pun memilih kuliah di NHI atau sekolah tinggi pelayaran NHI Bandung untuk bisa bekerja di kapal pesiar.
"Daripada saya masuk ITB dan perguruan tinggi favorit lain, yang mostly people choose ketika kamu tinggal di Bandung," kata Andri kepada detikFinance menirukan omongan pamannya yang masih diingat saat itu.
Singkat cerita, Andri akhirnya masuk dan lulus berkuliah di NHI, mengambil Manajemen Perhotelan dan majoring Food and Beverage. Titik awal Andri memulai mimpinya di Amerika Serikat akhirnya muncul saat melihat foto temannya di Friendster; social media yang saat itu sangat populer, yang menunjukkan kesuksesannya mampu membeli mobil sendiri, yaitu Minivan Caravan.
"Saya sangat terinspirasi dengan post tersebut dan saya berkata di dalam hati, saya akan mengikut jejak beliau," katanya.
Setelah lulus kuliah, Andri sempat mengambil kursus untuk menjadi Flight Attendant atau pramugara terlebih dahulu. Tujuannya masih sama, agar bisa bekerja dan jalan-jalan ke luar negeri.
Sembari kuliah, Andri juga bekerja di Sierra CafΓ© and Lounge di daerah Dago Atas Bandung sebagai Restaurant dan PR Asisten Manager.
Di saat yang bersamaan, Andri pun mendaftarkan diri di perusahaan yang bernama Perwita Nusantara di daerah Setra Sari Bandung dan melamar untuk bekerja di Amerika Serikat dengan menggunakan Visa H2B atau nonagricultural and temporary job. Tak disangka, aplikasi yang telah diajukan ternyata diterima, dan di saat yang bersamaan pula dia juga mendapat tawaran kerja dari Saudi Ailines.
"Alhamdulillah ternyata setelah selesai kursus pramugara dan melamar kerja online, saya mendapat tawaran kerja dari Saudi Ailines dan juga saya mendapat visa dari US dan lulus interview di US Embassy Jakarta, yang kadang-kadang super susah dan hanya Tuhan yang tahu caranya lolos interview," tutur Andri.
"Pada saat itu saya di antara dua pilihan. Kerja di darat di kelilingi orang Barat dan Yahudi atau kerja di udara dan dikelilingi orang Arab (Islam) namun mereka cenderung merendahkan bangsa kita. Alhasil saya memilih kerja di US instead of Saudi," tambahnya.
Andri akhirnya mendarat di AS, tepatnya tanggal 5 Oktober 2005 di Denver Colorado untuk transit ke Rapid City, South Dakota (SD) dengan jumlah rombongan orang Indonesia saat itu sekitar 25 orang.
Dia masih ingat, berbagai hal yang dirasakannya saat pertama kali mendarat di SD, mulai dari bagaimana ketatnya pemeriksaan imigrasi, retina mata yang difoto, hingga harus bersumpah dengan menaikkan tangan kanannya ke kitab Injil.
"Hal lain yang saya ingat, perasaan saya ketika melihat kota Denver, Colorado yang dipenuhi oleh bangunan tinggi dan pegunungan di sekitarnya. Satu hal lagi, lagu Green Day berjudul Wake Me Up when September End is our original soundtrack for US," ceritanya.
Andri ingat, momen di mana akhirnya mendarat di Rapid City, SD. Dia bilang, saat itu semua orang termenung dan tercengang melihat kota ini karena sangat kecil dan jauh dari yang dibayangkan sebelumnya.
"Berasa di daerah antah berantah, tidak sesuai dengan apa yang kita byangkan. Kota kecil dikelilingi tanah kosong dan juga reservasi (kawasan tinggal orang Amerika asli/Indian)," katanya.
Pekerjaan pertamanya saat itu adalah housekeeper. Bekerja sebagai housekeeper bukan pekerjaan yang super menyenangkan karena harus bertugas membersihkan kamar orang yang terkadang bisa menemukan berbagai macam hal yang tak pernah dibayangkan sebelumya.
"Membersihkan kondom tamu berceceran di lantai, toilet yang macet, karpet yang kotor, sampai toilet yang bocor dan sebagainya. 12 tahun lalu, kita cuma dibayar US$ 3,50 per jam," katanya.
Andri berujar, saat itu dia dan orang-orang Indonesia lainnya tinggal di hotel tempat mereka bekerja, yaitu hotel Holiday Inn I-90 yang merupakan hotel transit. Pada saat itu keterisian hotel dia bilang sangat rendah karena adanya badai salju di daerah itu.
Dengan kondisi seperti itu, kadang-kadang para pekerja pun harus pulang karena tak ada kamar yang perlu dibersihkan. Namun hal itu tak membuatnya putus asa hingga akhirnya dia mencari pekerjaan lain untuk dilakukan.
Andri akhirnya bekerja di restoran Olive Garden dan juga bekerja sebagai bus boy dikarenakan Bahasa Inggris yang pas-pasan. Setelah kurang lebih tiga bulan bekerja di sana, Andri kemudian ditransfer ke bagian breakfast attendant yang tugasnya menyediakan sarapan untuk para tamu.
"Saya ingat saya punya 3 job. Dari jam 5 pagi saya bekerja sebagai breakfast attendant, lalu dari jam 11 siang saya berkerja sebagai housekeeper membersihkan kamar dan dari jam 5 sore sampai tengah malam saya berkeja sebagai busboy di Olive Garden Italian restaurant," ujarnya.
Andri juga ditawrkan posisi sebagai waiter dikarenakan banyak waiter yang keluar untuk winter break saat itu. Dia mengaku masa training menjadi waiter saat itu sangat susah karena Bahasa Inggris yang dimilikinya masih sangat awam dan belum pernah mendangar kosakata-kosakata tersebut.
Namun Andri bilang, akhirnya sempat terpilih sebagai employee of the month pertama di tempat itu hingga namanya terpampang di ruang pekerja sampai saat ini.
Tahun 2007-2008, Andri akhirnya pindah ke Cullowhee, New York City untuk bekerja sebagai pelayan di resto Amerika bernama Huddle House. Pria keturunan Padang ini bekerja selama setahun di restoran ini lantaran ada konflik.
Dari situ, Andri akhirnya pulang ke Indonesia karena visanya yang tak diperpanjang. Namun tak lama sejak itu, di tahun 2009, Andri kembali ke Amerika Serikat untuk bekerja dengan menggunakan J1 visa sebagai intership.
"Saya berangkat kembali ke US dan menuju New Orleans, Louisiana. Saya seharusnya bekerja di Hilton Riverside tetapi dikarenakan New Orleans baru terkena hurricane Ikke, saya terkena lay over karena tidak ada perkerjaan yang terbuka di New Orleans," ujarnya.
Andri saat itu bekerja sebagai tukang masak memulai waktu kerjanya di jam 2:30 pagi dan mengayuh sepeda kurang lebih 1,5 mil dari tempat tinggalnya. Dia juga bekerja di Vallet attendant pada malam harinya untuk menambah penghasilan.
Meski pekerjaan ini sangat membosankan, tapi karena harus bekerja di parking booth selama 8 jam, dia bisa mengendarai mobil mewah seperti Hummer, Ferarri, hingga Lamborghini.
Tahun 2010, dia pindah lagi ke Ibukota New York di Albany untuk bekerja di Indonesian Fine Dining restaurant milik seorang bernama Yono. Yono merupakan kakak kelasnya saat kuliah di NHI dan telah menjadi salah satu chef Indonesia paling sukses di dunia.
"Saya banyak belajar dari beliau dan saya bertemu mantan istri saya di sana. Dari sana, saya mendapatkan kartu permanent resident atau green card," ujarnya.
Singkat cerita, pada 2016 Andri akhirnya memilih untuk membuka usaha sendiri dengan menjadi agen perjalanan lewat modal US$ 3.000. Uang itu digunakannya untuk membayar uang muka pembelian mini van dan pembayaran surat ijin pembuatan perusahaan di AS.
Saat ini, ia memiliki klien dan pelanggan dari berbagai segmen. Dari kalangan turis biasa, para bos perusahaan ternama di tanah air, artis dan sutradara film, tamu konsulat KJRI, sampai mengantar menteri yang sedang kunjungan kerja ke negeri Paman Sam. Namun, ia tak membeda-bedakan tamunya.
"Bagi saya, semua tamu VVIP. Service sama. Ke mana saja ayo. Dan yang pasti, rahasia dijamin," ucap pria yang masih single ini.
Rahasia yang ia maksud adalah lokasi tujuan, nama-nama rombongan dan apa-apa saja yang terjadi dalam perjalanan itu. Sebab, tidak bisa dipungkiri, lokasi maupun apapun yang terjadi dapat menjadi isu sensitif atau dapat merusak reputasi tamu di tanah air.
Dengan menjaga prinsip kepercayaan tersebut, ia semakin berkibar dan yakin mampu menundukan New York. Tentu, tanpa harus lupa kacang akan kulitnya, mengenang masa-masa sulit satu dekade silam.
"You are not going to appreciate your success if you never started from below. (Anda tidak akan menghargai kesuksesan jika Anda tidak pernah memulainya dari bawah)," pungkasnya.