Bikin Kebijakan Populis, Jokowi Indikasikan Ekonomi RI Melemah?

Bikin Kebijakan Populis, Jokowi Indikasikan Ekonomi RI Melemah?

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Rabu, 11 Apr 2018 14:11 WIB
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Jakarta - Sejumlah kebijakan populis atau yang disenangi kebanyakan masyarakat dilontarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kebijakan seperti peningkatan anggaran dan penerima bantuan sosial, peningkatan subsidi BBM dan tarif listrik, pengamanan harga BBM non subsidi hingga penambahan kuota BBM premium penugasan ke Pertamina bertujuan memberikan keringanan beban ekonomi kepada masyarakat.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan kebijakan Jokowi terhadap hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa ada pelemahan ekonomi di masyarakat. Hal itu juga tercermin dari elektabilitas Jokowi dalam bidang ekonomi di berbagai survei adalah yang paling rendah dibandingkan bidang lain seperti politik, hukum dan keamanan.

"Betul. Itu sudah jadi salah satu tandanya (ekonomi lesu). Karena tahun 2017 itu ada terlambat penanganan ya. Jadi mulai dari pencabutan listrik 900 Va itu dampaknya ternyata ke mana-mana, sampai ke ritel dan daya beli masyarakat. Itu tapi tidak diakui di 2017 daya beli masyarakat menurun. Sekarang jelang tahun pemilu, pastinya itu akan berpengaruh ke elektabilitas," katanya kepada detikFinance saat dihubungi, Rabu (11/4/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bima menjelaskan, kebijakan populis yang diambil Jokowi saat ini rentan menimbulkan distorsi di bidang lain karena terkesan lebih condong ke arah politik. Padahal, lesunya ekonomi Indonesia sudah terasa dalam kurang dari dua tahun terakhir sejak gugurnya sejumlah ritel besar hingga tak terasanya efek dari pembangunan infrastruktur yang masif ke masyarakat.

"Ya akhirnya harus diakui. Kemarin bilang e-Commerce yang mempengaruhi ritel tutup. Ternyata porsinya cuma 1%. Saya kira masyarakat dan dunia usaha kelihatannya agak sedikit kecewa atas lambatnya penanganan itu. Dan sekarang ketika jor-joran untuk meningkatkan daya beli masyarakat, dianggapnya hanya taktik politik tanpa ada perencanaan yang jelas dan target yang ingin dicapai seperti apa. Karena mereka nggak ngakuin daya beli masyarakatnya nggak turun, tapi bansos (bantuan sosial) nya jalan terus, kebijakannya kebijakan populis," jelas Bima.

Sementara itu pengamat politik Igor Dirgantara bilang, cara yang diusung Jokowi saat ini adalah strategi lama dalam memenangkan hati masyarakat yang dipakai para petahana sebelum-sebelumnya saat menuju pemilihan presiden yang baru.


Hal yang sama juga dulu dilakukan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memilih menurunkan harga BBM menjelang pemilihan presiden kedua kalinya yang diikutinya sebagai petahana. Subsidi BBM yang naik itu bahkan membuat Indonesia terjerat dalam subsidi BBM yang akhirnya membebani APBN.

Jokowi yang selama ini konsisten memangkas anggaran untuk subsidi BBM dan listrik dalam 3 tahun terakhir pun pecah telor di tahun 2018 saat akhirnya justru menambah anggaran subsidi energi.

"Kebijakan Pak Jokowi memang sekarang berangsur-angsur lebih populis untuk meringankan beban rakyat. Berarti Pak Jokowi juga mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia sedang menurun. Beban hidup masyarakat semakin berat. Dan itu strategi yang paling bagus menurut saya. Karena perekonomian di masa Pak Jokowi kan memang dikatakan menurun," ungkapnya.

(eds/ang)

Hide Ads