Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan hal tersebut menunjukkan terjadinya kontraksi dalam ekonomi masyarakat. Selain keputusannya yang cenderung politis lantaran adanya sentimen menuju pemilihan presiden 2019, semua kebijakan yang diambil pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga seolah mengonfirmasi terjadinya pelemahan daya beli di masyarakat.
"Contohnya beberapa rangkaian yang cukup mendadak tanpa ada kajian yang jelas. Seperti keputusan untuk menaikkan belanja sosial PKH, dari 6 juta penerima jadi 10 juta penerima di 2018. Tapi ternyata penyaluran bantuannya juga sedikit terlambat misalnya. Ini semua seakan-akan konsumsi masyarakat yang didorong, tapi tanpa ada perencanaan yang jelas. Apalagi sekarang sampai swasta menaikkan harga BBM nya harus minta izin dulu. Itu nggak tepat," katanya kepada detikFinance saat dihubungi, Rabu (11/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemarin ke mana saja, ketika 50% premiumnya menurun di Jamali selama setahun terakhir. Tapi setelah banyak protes dan segala macam, baru Pertamina diwajibkan kembali menyalurkan kembali premium. Jadi ini kebijakan yang kajiannya lemah, mendadak dan agak terlambat mendiagnosis penyakitnya," katanya.
Seiring dengan direncanakannya kebijakan ini, lantas benarkah ada pelemahan daya beli di masyarakat?
"Ya. Akhirnya harus diakui. Kemarin bilang e-Commerce yang mempengaruhi ritel tutup. Ternyata porsinya cuma 1%. Saya kira masyarakat dan dunia usaha kelihatannya agak sedikit kecewa atas lambatnya penanganan itu. Dan sekarang ketika jor-joran untuk meningkatkan daya beli masyarakat, dianggapnya hanya taktik politik tanpa ada perencanaan yang jelas dan target yang ingin dicapai seperti apa," pungkasnya.
Baca juga: Kebijakan Jokowi Sekarang Makin Populis? |