bagaimana tidak, sejumlah kementerian dan lembaga yang terkait kebijakan pangan nasional itu saling klaim data mereka adalah acuan yang tepat. Celakanya, data masing-masing kementerian dan lembaga terkait, berbeda satu sama lain.
detikFinance berkesampatan berbincang santai mengulas permasalahan tersebut bersama Wakil Ketua Badan Pertimbangan Organisasi HKTI (Wakil Ketua BPO-HKTI) yang juga Ketua Kebijakkan Publik APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), Sekaligus mantan Deputi Menteri Koperasi dan UKM, Sutrisno Iwantono. Berikut wawancara lengkapnya.
1. Bagaimana pendapat anda soal rencana pemerintah akan impor beras 500.000 ton?
Foto: Sylke Febrina Laucereno
|
setiap impor komoditi pertanian pasti akan memberikan tekanan harga bagi hasil produksi komoditi tersebut di dalam negeri. Dan itu tentu memberikan dampak negatif bagi petani. Disisi lain juga merupakan indikasi ketidak berhasilan bagi produksi dalam negeri. Logikanya dilakukan impor karena produksi dalam negeri tidak mencukupi. Paling tidak 2 hal itu menandakan pertanian, dalam hal ini beras ada masalah.
Namun demikian bukan berarti selalu anti terhadap impor. Jika negara ini dalam kondisi darurat yang sangat sulit, apabila impor tidak dilakukan akan sangat mengacam keberadaan negara atau kehidupan masyarakat, tentu impor bisa di terima.
2. Menurut anda apakah kita dalam situasi darurat?
Foto: Selfie Miftahul Jannah
|
Tampaknya Menteri Perdagangan gundah dengan harga itu, karena bisa memicu inflasi dan mungkin juga dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan ekonomi di tingkat akar rumput yang bisa mengurangi kepercayaan pada pemerintah, terutama pada saat bulan puasa menjelang lebaran ini. Untuk amannya maka impor perlu dilakukan. Menurut saya motifnya adalah berjaga- jaga agar tidak ada kegaduhan ekonomi yang bisa mengganggu kepercayaan pada Pemerintah.
3. Apakah dengan demikian kepercayaan pemerintah telah terpelihara?
Foto: Selfie Miftahul Jannah
|
Departemen Pertanian bilang produksi surplus, pada bulan Juni akan panen 1,7 juta hektar lahan, padahal pada bulan-bulan biasa hanya 1,2 atau 1,3 juta hektar. Silang pendapat antar pemegang otoritas semacam ini justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Bayangkan Bulog bisa menolak untuk impor beras, padahan putusan impor itu hasil Rapat Koordinasi dibawah Menko Perekonomian, bahkan telah pula disampaikan dalam sidang Kabinet. Bulog kan institusi jauh dibawah itu, dan pelaksana dari kebijakan pemerintah. Tetapi bisa membantah.
Menurut saya untuk memelihara kepercayaan masyarakat harus ada koordinasi dan sinkronisasi antar pemangku kewenangan organ-organ pemerintah. Didalam rapat-rapat internal bolehlah berbeda pendapat keras-kerasan sekalipun. Tetapi ketika keluar dan menghadapi publik harusnyalah satu suara dan ada harmonisasi. Hal ini sangat penting terutama dalam situasi ekonomi yang sedang sulit saat ini. Kepercayaan masyarakat harus di bangun dan di jaga supaya tidak terjadi eforia negatif. Kalau pengumuman pemerintah sudah tidak dipercaya, maka masyarakat akan berjalan dengan logikanya sendiri, dan bisa fatal bagi perekonomian. Jangan sampai nanti pemerintah bilang dolar akan turun, tetapi malah dipahami rakyat dolar akan naik. Ini berbahaya.
4. Menurut anda apakah harga beras saat ini memang sudah ketinggian?
Foto: Selfie Miftahul Jannah/detikcom
|
Faktanya HPP yang ditetapkan Rp. 3.700,-/kg padi kering panen selalu diributkan karena Bulog tidak bisa beli dengan harga itu, sebab di pasaran sudah jauh lebih tinggi bisa diatas Rp 5.500/kg gabah kering panen. Demikian juga soal HET dipasar lebih tinggi dari HET Rp 9.450/kg beras yang ditetapkan pemerintah. Harga pasar di tingkat petani yang sudah diatas HPP menurut saya itu karena hukum pasar supply and demand, demikian juga harga eceran diatas HET. Hal ini menandakan memang kita masih ada masalah dalam produksi dalam negeri. Kalau produksi sudah mencukupi dan surplus sudah pasti harga akan turun, mau direkayasa kayak apapun harga pasti turun karena tunduk pada hukum pasar. Artinya kalau harga masih tinggi itu karena produksi belum mencukupi sebagaimana diinginkan.
5. Apakah HPP dan HET tidak menyelesaikan masalah?
Foto: Ibnu Munsir
|
Satu-satunya cara untuk mengurangi ketergantungan hidupnya petani dari usaha tani yang gurem-gurem itu adalah menciptakan industri di pedesaan. Industri ini berbasis pengolahan hasil pertanian atau sumber daya lokal. Industri ini memberikan alternatif sumber penghasilan lain diluar usaha tani. Jadi jika harga padinya murah pada waktu musim panen, ya tidak apa-apa karena petani punya sumber penghasilan lain di luar usaha tani, sehingga dia tetap bisa hidup layak. Kita perlu menciptakan kesempatan kerja lain di pedesaan, bukan hanya usaha tani, tetapi juga industri, perdagangan dan jasa. Karena itulah diperlukan strategi pembangunan yang integrated, yang menyatukan sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, pariwisata yang didukung sektor-sektor lain.
Halaman 2 dari 6