Dilema UMKM, Antara Tarif Pajak Murah dan Wajib Pembukuan

Dilema UMKM, Antara Tarif Pajak Murah dan Wajib Pembukuan

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 27 Jun 2018 21:50 WIB
Foto: Devi Setya/detikFood
Jakarta -
Aturan itu tertuang dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak memiliki peredaran bruto (omzet) sampai dengan Rp 4,8 miliar dalam satu tahun mendapatkan tarif sebesar 0,5% dari yang sebelumnya 1%.


Selain itu, aturan ini juga mengatur jangka waktu pengenaan tarif 0,5% untuk wajib pajak orang pribadi selama 7 tahun, wajib pajak badan usaha selama 4 tahun, dan perusahaan terbatas selama 3 tahun.

Meski begitu, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Muhamad Ikhsan Ingratubun mengatakan pelaku usaha masih keberatan dengan pilihan skema pembukuan, khususnya pelaku usaha mikro.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Iya (keberatan pembukuan). PP sebelumnya mengesampingkan pedagang kaki lima. Kalau PP 23 kan enggak, disatukan semuanya. Semua diharuskan membuat pembukuan, ya boro-boro kita punya mikro kecil ada pembukuan, pencatatan aja masuk kantong keluar kantong," kata Ikhsan dalam acara Kongkow Bisnis PASFM 92,4 di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (27/6/2018).


Guna mengatasi masalah tersebut, Ikhsan bilang Ditjen Pajak selaku otoritas harus memberikan kemudahan dengan menyediakan aplikasi atau formulir administrasi yang gampang dipahami para pelaku UMKM.

"Kalau ada aplikasi yang mudah dia laporkan sendiri nggak perlu lagi konsultan pajak, itu mahal. Paling sedikit Rp 5 juta. Tapi kalau ada aplikasi yang mudah standarnya DJP kita bisa masukkan sendiri," jelas dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai skema pembukuan memang masih menjadi momok bagi para pelaku usaha yang ingin masuk dalam sistem perpajakan nasional.


"Pembukuan memang menjadi momok, tetapi PP 23 lebih adil karena opsional, kalau dulu di PP 46 itu di bawah Rp 4,8 miliar itu 1%, sekarang dikasih pilihan, kalau rugi nggak bayar pajak tapi bikin pembukuan," terang Prastowo.

Dia meminta kepada Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk membuat standar administrasi perpajakan yang mudah, sehingga, bisa diaplikasikan oleh pemerintah melalui Ditjen Pajak.

Menjawab dilema soal pembukuan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, otoritas perpajakan nasional akan membuat proses administrasi pajak lebih mudah.

"Kita akan coba pola-polanya. Sebenarnya sekarang pun sudah ada aplikasi untuk pencatatan, nah itu silakan dimanfaatkan," jelas dia.

Ditjen Pajak, kata Hestu, juga akan berkoordinasi dengan IAI untuk membuat standar akuntansi khusus yang sederhana untuk para pelaku UMKM di Indonesia.

"Tentunya kita akan formulasikan hal-hal seperti itu. Kita selain bertugas memungut pajak kita juga bertugas membina wajib pajak termasuk UMKM menjalankan kewajiban peprajakan termasuk pembukuan dengan baik. Walaupun kami tentu tidak bisa sendiri tentunya harus dengan kementerian lain, asosiasi profesi, semacam itu," tutur Hestu. (hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads