Pemerintah Anggap Perang Dagang Trump Bukan Ancaman Besar

Pemerintah Anggap Perang Dagang Trump Bukan Ancaman Besar

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 10 Jul 2018 06:50 WIB
Pemerintah Anggap Perang Dagang Trump Bukan Ancaman Besar
Foto: REUTERS/Carlos Barria
Jakarta - Pemerintah menilai ancaman perang dagang yang dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tidak menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang diperintahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan hasil rapat terbatas.

Selama ini ketidakpastian global terus menghantui perekonomian Indonesia, hasilnya membuat beberapa asumsi dasar ekonomi meleset dari batas yang disepakati pemerintah dengan dewan dalam APBN.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa waktu yang lalu, nilai tukar menjadi yang paling terdampak dari ketidakpastian global ini. Biang keladinya adalah kondisi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, hingga isu kenaikan suku bunga The Fed.

Kabinet Kerja lantas langsung mengambil aksi dengan menggelar rapat koordinasi (rakor) pertama mengenai Perumusan Strategi dan Kebijakan Menghadapi Dampak Trade War dan Kenaikan Tingkat Bunga Amerika Serikat.

Rakor itu dilaksanakan pada tanggal (8/7/2018), Menko Perekonomian Darmin Nasution memipin rapat tersebut. Peserta rakor antara lain Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.

Pada Senin (9/7/2017), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution beserta peserta rakor kemarin pun langsung menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor.

Kehadiran Darmin cs melaporkan hasil rakor dan dilanjut dengan pembahasan tingkat menteri pada ratas yang dipimpin oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

Berdasarkan info yang didapat, ratas diagendakan pada pukul 10.30 WIB tentang Strategi dan Kebijakan Menghadapi Dampak Ketidakpastian Perekonomian Global di Istana Kepresidenan Bogor.

Ratas yang dilakukan secara internal itu memiliki beberapa hasil kesepakatan untuk mengantisipasi perang dagang, apa saja hasilnya? Simak selengkapnya di sini:


Airlangga mengatakan secara garis beras langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi ketidakpastian global seperti kondisi perang dagang hingga fluktuasi nilai tukar dengan cara memperkuat ekonomi nasional dan memberikan rasam aman bagi pelaku usaha.

"Jadi yang pertama tentu, menyikapi kondisi ekonomi makro maupun mikro di dunia dan dalam negeri, pokok bahasan utamanya adalah bagaimana kita memperkuat ekonomi nasional, juga memberi ketentraman kepada industri nasional atau para pengusaha agar iklim investasi bisa dijaga," kata Airlangga di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).

Berikut jurus yang bakal dilakukan pemerintah. Pertama, optimalisasi fiskal dengan menerapkan bea keluar, bea masuk, dan harmonisasi bea masuk, agar industri punya daya saing dan mampu melakukan ekspor.

Kedua, menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri di dalam negeri. Ketiga, memberikan insentif untuk mendorong ekspor. Keempat, memberikan insentif bagi pengusaha yang ingin merelokasi pabrik, misalnya dari indutri yang sudah padat karya dari wilayah Jawa Barat ke wilayah lain semisal Jawa Tengah.

Kelima, memberikan insentif ke UMKM, terutama di bidang furniture misalnya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang akan disubsidi oleh pemerintah.

Keenam, pemanfaatan tingkat kandungan dalam negeri agar utilisasi industri dapat ditingkatkan untuk memenuhi ketersediaan bahan baku termasuk korporasi-korporasi di Tuban yang bergerak di sektor petrokimia mau pun BBM. Ketujuh, meningkatkan penggunaan biodiesel 20% (B20) sekaligus dikaji penggunaan biodiesel ke 30% (B30) karena itu akan meningkatkan konsumsi biodiesel sebesar 500.000 ton/tahun.

Terakhir atau kedelapan, memaksimalkan potensi wisata dengan mengembangkan bandara dan maskapai berbiaya hemat (low cost carrier/LCC).


Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengatakan isu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menjadi sentimen negatif buat para pelaku usaha.

"Mungkin dampak kepada investasi terutama melalui jalur sentimen dan kepercayaan. Tentunya perang dagang dapat menimbulkan ketidakpastian," kata Lembong di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).

Dia menilai, kalangan pengusaha atau investor paling sensitif terkait dengan perkembangan dunia, apalagi mengenai isu yang akan berdampak bagi perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia.

"Kalangan pengusaha dan investor itu paling sensitif, paling peka terhadap ketidakpastian," jelas dia.


Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan peringatan yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke banyak negara termasuk Indonesia bukan suatu ancaman besar.

Sebab, langkah Donald Trump yang mengevaluasi hak istimewa terhadap produk-produk ekspor Indonesia ke (AS) dinilai sebagai hal yang biasa. Sehingga tidak perlu ada istilah perang dagang.

"Kami tidak melihat ini akan menjadi ancaman yang besar bagi Indonesia, kita komunikasi dan lakukan pembicaraan," kata Airlangga di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).

Donald Trump akan mengevaluasi negara-negara yang selama ini mendapat hak istimewa lewat program generalized system of preference (GSP), termasuk Indonesia. Namun jika dilihat dari urutan, Indonesia menduduki posisi 17 menjadi negara yang kondisi neraca perdagangannya surplus terhadap AS.

Sehingga, kata Airlangga, peringatan terkait dengan evaluasi produk-produk Indonesia itu bukan menjadi sebuah ancaman besar. Tidak hanya itu, evaluasi GSP pun sudah biasa dilakukan.

"Ya memang GSP itu sesuatu yang biasa di-review, GSP tidak mencerminkan ada sesuatu terkait perdagangan Indonesia. Semua negara yang memperoleh GSP akan mendapatkan review," jelas dia.

Sejumlah barang dari Indonesia ke Amerika Serikat bebas bea masuk karena kebijakan Generalized System of Preferences (GSP). Kini kebijakan tersebut sedang dikaji ulang oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Ada 124 barang yang di-review oleh Trump. Trump berpotensi mencabut GSP untuk barang-barang tersebut. Apabila Trump mencabut GSP sejumlah barang tersebut, artinya ada bea masuk yang harus dibayarkan.

Hal ini dilakukan Trump bukan tanpa alasan, Pengamat Ekonomi dari Bank Permata Jhosua Pardede menjelaskan, saat ini neraca perdagangan AS defisit karena terlalu banyak barang luar yang masuk ke dalam AS. Hal tersebut membuat AS meng-evaluasi negara negara yang mendapat GSP agar mengetahui negara mana saja negara yang membuat AS mengalami defisit.

"Kan bisa kita lihat backgroundnya, Indonesia tren neraca perdagangan antara Indonesia- Amerika itu dari sisi Amerikanya defisit. Makanya Amerika sedang mencari-cari siapa yang membuat neraca perdagangannya menjadi defisit di neraca perdagangan AS sendiri," kata dia kepada detikFinance, Senin (9/7/2018).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan upaya pemerintah melawan ancaman perang dagang Amerika Serikat (AS). Upaya itu dilakukan lewat insentif, genjot ekspor, dan menyeleksi kegiatan impor.

"Tadi pagi yang sudah disampaikan Menperin (Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto) bahwa kita terus melakukan berbagai upaya melihat sektor ekonomi kita, mana-mana yang perlu mendapat dukungan baik dalam bentuk insentif maupun dari sisi dukungan yang bisa kita berikan agar mereka tetap bisa gunakan kesempatan saat ini dalam meningkatkan ekspor, mengelola impor agar tdk meningkatkan tekanan terhadap eksternal balance," kata Sri Mulyani di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).

Pemberian insentif juga akan dikoordinasikan dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sri Mulyani mengatakan insentif menjadi jurus pemerintah memperkuat kinerja ekspor atau kegiatan yang menghasilkan devisa termasuk pariwisata, dan menjaga impor melalui pengembangan industri dalam negeri.

Sri Mulyani sedang mengevaluasi lebih dalam insentif yang diajukan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian ESDM. Pemberian insentif, lanjut Sri Mulyani, bisa berupa bebas pajak ataupun kebijakan kepabeanan.

"Jadi pada prinsipnya kita akan melihat industri-industri manufaktur ini yang mana yang bisa menghasilkan barang-barang ekspor dan menghasilkan substitusi impor, dan apakah insentif yang diberikan dalam bentuk bea masuk, ataukah pajak yang ditanggung pemerintah," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Pemberian insentif juga akan dibahas lebih dalam pada rapat koordinasi (rakor) tingkat menteri yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam waktu dekat. Pada saat rakor, pihak Kementerian Perindustrian akan menunjukan data industri mana saja yang siap mendapat insentif.

Hide Ads