Cerita Sri Mulyani Tekan Kemiskinan Lewat Harga Pangan

Cerita Sri Mulyani Tekan Kemiskinan Lewat Harga Pangan

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 17 Jul 2018 18:18 WIB
Foto: Istimewa/IG Sri Mulyani Indrawati.
Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, tingkat harga dari komoditi inti menjadi objek yang menentukan garis kemiskinan di Indonesia naik ataupun turun.

"Makanya kalau pemerintah ingin menjaga harga makanan itu stabil sebetulnya secara tidak langsung ingin mendapatkan tingkat kemiskinan yang menurun, karena garis kemiskinannya turun," kata Sri Mulyani di gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/7/2018).

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan garis kemiskinan di Indonesia mengalami kenaikan 3,63%, yaitu dari Rp 387.160 per kapita pada September 2017 menjadi Rp 401.220 per kapita per bulan di Maret 2018.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Garis kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Jika masyarakat di Indonesia memiliki pendapatan di atas dari batas yang ada per Maret 2018, maka tidak tergolong sebagai orang miskin. Sebaliknya, jika pendapatannya di bawah batas maka masuk ke dalam golongan orang miskin.



Adapun daftar komoditi yang memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan yakni, beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, mie instan, kopi bubuk dan kompi instan (sachet), kue basah, tempe, tahu, roti, bawang merah, dan lainnya.

Adapula yang berasal dari komoditi bukan makanan, yakni perumahan, bensin, listrik, pendidikan, perlengkapan mandi, angkutan, kesehatan, dan lainnya.

"Jadi kalau ada inflasi tinggi maka garis kemiskinannya tinggi maka kemudian banyak orang yang tidak miskin masuk menjadi kelompok miskin," jelas dia.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, pengukuran kemiskinan di Indonesia juga berbeda dengan negara-negara lain. Untuk di Indonesia sendiri, pemerintah berkomitmen untuk terus menjaga inflasi di level rendah, sehingga garis kemiskinan terjaga dan dan pendapatan masyarakat meningkat.

"Untuk mendapat 2.250 kalori per hari di Indonesia beda sekali dengan di India, Singapura, Amerika, sehingga itulah yang disebut perbedaan purchasing power parity atau daya beli antar negara karena komponen makanannya berbeda, dan tentu saja angka atau nilai setiap negara berbeda-beda," tutup dia.

(eds/eds)

Hide Ads