"Kita sih masih bisa berharap katakanlah 5,2%, saya rasa masih realistis dengan catatan (perbaikan) yang tadi itu dilakukan. Kalau nggak akan susah, kalau nggak arahnya ke 5,1%," kata Ekonom Indef, Eko Listiyanto dalam diskusi di Kantor Indef, Jakarta Selatan, Rabu (8/8/2018).
Terlebih, tantangan pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi di dua kuartal terakhir tahun ini dianggap lebih berat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indikator indikator tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2018. Namun melihat kondisi lima tahun terakhir, kecenderungan pertumbuhan di kuartal III dan IV lebih rendah dari kuartal II.
"Nah sayangnya dari data juga selalu, kalau datanya kuartalan terlihat 5 tahun terakhir selalu polanya triwulan II tumbuhnya paling tinggi secara triwulanan. Kemudian triwulan III akan turun, triwulan IV akan lebih turun lagi. Polanya selalu begitu dari 5 tahun terakhir ini," lanjutnya.
Di kesempatan yang sama, Ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus mengatakan impor yang terus meningkat menggerus pertumbuhan ekonomi. Peningkatan impor terlihat dari neraca perdagangan yang defisit.
"Karena neraca dagang triwulan II pangsanya minus. Dalam ekonomi kita bukannya menyumbang pertumbuhan ekonomi malah menggerus. Pertama kali sejak 2014 neraca dagang jadi faktor yang mereduksi pertumbuhan ekonomi minus 0,52%," sebutnya.
Bahkan, dia menyebut 5 tahun lalu porsi impor barang konsumsi masih 6,8%, tapi sekarang 9%. Artinya pertumbuhan impor barang konsumsi lebih cepat.
"Kalau gini terus 5-10 tahun lagi, lama lama makin lebar impor barang konsumsi. Karena impor makin tinggi, ekspor nggak bisa berbuat banyak. Maka neraca perdagangan malah mereduksi pertumbuhan ekonomi," tambahnya.











































