Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menilai ketergantungan impor pangan terutama yang bersifat strategis, tak mudah dihentikan. Sebaliknya jika yang diimpor produk non produktif, dan bisa dipenuhi di dalam negeri, maka bisa dihentikan.
"Jika kaitannya pembatasan impor pangan tentunya juga sangat baik, karena pemerintah berkomitmen untuk mendorong swasembada pangan dengan peningkatan produktivitas sektor pertanian," kata Josua saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Jumat (10/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip detikFinance, Jumat (10/8/2018) beras tersebut berupa jenis gabah yang dikuliti dan beras 1/2 giling atau digiling seluruhnya. Sedangkan, jumlah beras yang dikonsumsi berjumlah 862.165 ton. Beras tersebut berasal dari Thailand dan Vietnam.
Sementara itu, Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan perlu strategi yang cermat jika benar ingin menghentikan ketergantungan impor. Menurutnya impor tidak bisa begitu saja dihentikan karena kegiatan tersebut menyangkut hidup banyak orang.
"Jadi kalau untuk mengurangi, bisa dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri yang berdaya saing tinggi. Sehingga produk impornya kalah bersaing," kata Faisal.
"Jadi bukan kebijakan populis, tapi how-nya. Yang saya harapkan ke depan bisa diubah strateginya," lanjutnya.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menambahkan yang bisa dilakukan adalah merencanakan impor dan mengendalikan impor, sebab beberapa komoditas masih dibutuhkan oleh tanah air.
"Seperti gandum kita kan nggak produksi, jagung juga harus hati-hati, seperti sekarang pakan ternak mahal dan berujung kenaikkan harga telur dan daging ayam," ujar dia.
Menurut Bhima untuk menuju pada impor terencana dan terkendali dibutuhkan sinkronisasi data antar kementerian dan lembaga. Lalu, membangun substitusi impornya. Selanjutnya, mengendalikan impor dengan menambah pasokan dalam negeri dan bukan membatasi lewat regulasi.
Saksikan juga video 'BPK Sentil Kemendag Terkait Izin Impor Beras':
(hek/hns)