"Mereka yang masuk dalam kelompok miskin ekstrem itu akan sulit memperbaiki diri, karena kesempatannya sangat susah," ujarnya usai diskusi tentang masalah kemiskinan di Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Menurut dia, menanggulangi kemiskinan tidak cukup hanya dengan memberikan belanja sosial, seperti bantuan langsung tunai. Sebab kebijakan seperti itu seharusnya bersifat sementara yaitu sekadar menjadi penyangga. Dengan demikian, pemerintah seharusnya melahirkan kebijakan yang secara fundamental mampu mendorong masyarakat di tingkat miskin ekstrem atau seluruh kelompok miskin keluar dari jebakan hidup di bawah standar minimum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemberdayaan masyarakat itu harus melalui penciptaan lapangan kerja, bukan sekadar bantuan sosial. Ini penting agar tercipta kesinambungan," ungkapnya.
Ia mengutip Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkapkan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada periode Februari 2018 mencapai 5,13%. Kondisi ini merupakan yang terendah dalam 20 tahun terakhir.
Arif mengakui bahwa kebijakan dan program pemerintah saat ini sudah di jalur yang tepat, khususnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Program reforma agraria misalnya, menurut dia sebagai kebijakan yang sangat baik karena mampu memberdayakan masyarakat melalui akses terhadap aset.
Untuk itulah, dia mengingatkan agar program yang secara struktural itu sangat baik terus dilanjutkan dan dijaga akuntabilitasnya. Jangan sampai, dia mengkhawatirkan, lahan yang sudah dilegalkan menjadi milik masyarakat justru berpindah kepada pemilik modal.
"Di sini masalahnya adalah akuntabilitas yang harus dijaga," tegasnya.
Baca juga: Industri 4.0, Untuk Apa? |
Arif mengharapkan agar program-program yang mampu memberdayakan masyarakat menjadi lebih mandiri terus didorong.
"Jangan sampai ada hambatan sehingga kemiskinan dengan sendirinya akan berkurang sebagai dampak dari kondisi masyarakat yang semakin berdaya," pungkasnya. (idr/idr)