Ini Kondisi Ekonomi Chile yang Batal Didatangi Ratna Sarumpaet

Ini Kondisi Ekonomi Chile yang Batal Didatangi Ratna Sarumpaet

Hans Henricus BS Aron - detikFinance
Jumat, 05 Okt 2018 06:29 WIB
Kota Santiago-Chile/Foto: Aditya Jakun - Trans7
Jakarta - Chile, salah satu negara di Amerika Selatan jadi buah bibir. Hal ini karena peristiwa Ratna Sarumpaet ditangkap polisi di Bandara Soekarno-Hatta, Kamis malam (4/10/2018) saat hendak ke Santiago, ibu kota Chile.

Menurut Polisi, Ratna terbang ke Chile dengan rute Jakarta-Istanbul (Turki)-Sao Paolo (Brasil)-Santiago (Chile). Nah, jika melihat Chile dari sisi ekonomi, bagaimana kondisinya terkini?


Mengutip data bank dunia dari situs www.worldbank.org, yang terakhir diperbaharui 24 September 2018, Chile telah menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di Amerika Latin dalam beberapa dekade terakhir. Kondisi tersebut memungkinkan Chile mengurangi kemiskinan secara signifikan. Antara tahun 2000 dan 2015, penduduk yang hidup dalam kemiskinan (pada US$ 4/hari) menurun dari 26% menjadi 7,9%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian selama periode 2014-2017, pertumbuhan Chile melambat karena penurunan harga tembaga, yang berdampak negatif pada investasi swasta dan ekspor. Pertumbuhan Chile mulai pulih pada 2018, dan tumbuh 4,8% pada semester pertama. Capaian pertumbuhan itu mencerminkan peningkatan dalam konsumsi dan investasi swasta yang didorong oleh upah yang lebih tinggi, suku bunga yang lebih rendah dan kepercayaan sektor swasta yang lebih tinggi.


"Manufaktur juga meningkat pada 2018 berkat harga tembaga dan produksi pertambangan yang lebih tinggi. Kegiatan non-penambangan, khususnya perdagangan grosir, layanan komersial dan manufaktur juga mengalami kemajuan," sebut data Bank Dunia yang dikutip detikFinance, Jumat (5/10/2018).

"Defisit fiskal Chile diperkirakan menurun secara bertahap mulai 2018. Kebijakan fiskal telah kontra-siklus dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang lamban dan harga tembaga yang lebih rendah memiliki dampak negatif pada pendapatan fiskal pada saat yang sama bahwa pemerintah meningkatkan pengeluaran, mencapai defisit 2,7% dari PDB pada 2017," kata data Bank Dunia.


Pemulihan ekonomi Chile dan kepatuhan terhadap aturan fiskal difokuskan mengarah pada perkiraan defisit 2% dari PDB pada 2018. Penguatan ekonomi secara bertahap ini didukung oleh langkah-langkah penghematan fiskal yang baru-baru ini diumumkan oleh Departemen Keuangan, yang mencakup pemotongan pengeluaran sebesar 1,6 poin persentase PDB dalam empat tahun.

Selain itu, undang-undang reformasi pajak baru-baru ini diperkenalkan di Kongres untuk memfasilitasi pengumpulan pajak dan mempromosikan investasi. Total utang publik diperkirakan akan mencapai 25% dari PDB pada 2018, dibandingkan dengan 23% pada 2017, tetapi nilai utang itu masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin lainnya.

Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Chile akan mencapai puncak pada 4% di 2018 ini, tapi kemudian jatuh ke 3,3% pada 2020. Perlambatan kecil ini terkait dengan penyesuaian bertahap dalam kebijakan moneter dan fiskal, dikombinasikan dengan lingkungan eksternal yang kurang menguntungkan, harga tembaga yang stagnan dan pertumbuhan global yang rendah.


Defisit neraca berjalan Chile diperkirakan akan mencapai hingga 2% dari PDB pada 2018 dan tetap stabil pada 2019-2020. Tingkat defisit neraca berjalan ini mencerminkan peningkatan impor karena perluasan investasi dan konsumsi yang melebihi peningkatan ekspor karena harga tembaga internasional yang lebih tinggi.

Teakhir, Bank Dunia menilai pengelolaan makroekonomi dan fiskal yang bertanggung jawab memberikan dasar yang kuat untuk pertumbuhan yang lebih inklusif. Untuk mencapai potensi tersebut, Bank Dunia menyarankan Chile perlu membangun konsensus untuk menanggapi harapan kelas menengah yang sedang tumbuh pada saat yang sama meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi.

"Dalam jangka pendek, sangat penting untuk memulihkan kepercayaan dari sektor swasta untuk merangsang investasi di sektor selain pertambangan. Dalam jangka panjang, negara harus menghadapi tantangan struktural untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan penyediaan energi, mengurangi ketergantungan pada pertambangan dan meningkatkan akses dan kualitas layanan sosial," pungkas data Bank Dunia. (hns/dna)

Hide Ads