Tim ekonomi Partai Gerindra, Harryadin Mahardika membenarkan program itu memang masuk ke dalam program kerja yang dicanangkan Prabowo-Sandi.
"Yang di taruh di visi-misi adalah pemotongan pajak PPh 21 untuk individu, untuk penghasilan. Kita sudah simulasikan, PPh 21 kita akan potong 5-8%," kata Harryadin kepada detikFinance, Senin (14/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pangkas PPh untuk Stimulasi Ekonomi
|
Foto: Zaki Alfarabi
|
"Alasannya sederhana kita berikan stimulus untuk perekonomian. Jadi perekonomian kita ini kan rada mandeg ya karena pajak yang dipungut tidak di alokasikan dengan tepat," kata Harryadin.
Menurut Harryadin masyarakat akan lebih optimal menggunakan uangnya sendiri daripada masuk ke pajak. "Kalau kita tidak pungut tapi memotong, sehingga uang itu ada di masyarakat kita yakin mereka akan optimal alokasikan uang itu," tambahnya.
Dia menyimpulkan intinya program ini mau membuat konsumsi masyarakat menjadi bergairah. "Jadi intinya kami mau buat masyarakat itu bergairah konsumsinya, jadi ekonomi pun ikut bergairah," katanya.
Tidak Ganggu Penerimaan Negara
|
Foto: Tim Infografis
|
"Nggak (berkurang), karena kita sudah melihat pajak yg dipotong itu akan digunakan konsumsi oleh masyarakat," kata Harryadin.
Ia menerangkan, dengan pemangkasan PPh, masyarakat jadi memiliki lebih banyak uang yang bisa digunakan untuk belanja. Dari belanja masyarakat ini lah pemerintah bisa menerima PPN dari setiap transaksi yang dilakukan.
"Jadi intinya kami mau buat masyarakat itu bergairah konsumsinya, jadi ekonomi pun ikut bergairah. Itu nanti akan ditangkap lagi oleh PPN kan jadi kegiatan ekonomi yang ter-multiplayer, kegiatan ekonomi itu kan jadi pajak lagi," katanya.
Berapa Pemangkasannya?
|
Foto: Tim Infografis
|
5% untuk penghasilan sampai dengan Rp 50.000.000/tahun
15% untuk penghasilan Rp 50.000.000-Rp 250.000.000/taun
25% untuk penghasilan di atas Rp 250.000.000 ke Rp 500.000.000/tahun
30% untuk penghasilan di atas Rp 500.000.000/tahun.
Hingga kini, pajak penghasilan di Indonesia paling rendah 5% untuk penghasilan Rp 50 juta setahun dan tertinggi 30% untuk penghasilan di atas Rp 500 juta.
Harryadin pun mengatakan pihaknya pun berniat memotong pajak badan usaha. Namun pihaknya mengatakan hal itu masih dikaji pihaknya.
"Kalau yang PPh badan, sudah ada kajian tapi belum kami masukan ke visi-misi. Kami merasa belum siap dimasukkan, kami melihat perlu ada simulasi lebih detil," ungkap Harryadin.
Kata Pakar
|
Foto: Tim Infografis
|
"Kalau untuk argumen mengenai tidak mengganggu penerimaan pajak saya kira tidak begitu. Justru kita butuh pajak bukan malah dikurangi, itu jadi andalan penerimaan negara," kata Yustinus.
Yustinus mengatakan bahwa permasalahan sesungguhnya bukanlah penarifan pajak, namun tingkat kepatuhan pajak yang kurang.
"Justru masalahnya itu tingkat kepatuhan pajak. Pajak segini aja banyak yang tidak bayar apalagi diturunkan," katanya.
"Lebih baik memberikan insentif dengan target, daripada mengubah tarif. Insentif menargetkan masyarakat yang membutuhkan, misalnya mungkin pengurangan pajak untuk masyarakat penerimaan rendah, kaum difabel, dan lainnya," kata Yustinus.
Yustinus juga mengatakan tarif pajak penghasilan di banyak negara justru naik. Selain itu progresivitas nilai pajak pun harus diperhatikan untuk agar tidak adanya ketimpangan.
"Trennya di dunia itu PPh pribadi justru naik, dengan pengaturan progresivitasnya yang benar. Yang penghasilannya besar pajak harus makin tinggi, dengan begitu bisa mengurangi ketimpangan," katanya.
Yustinus juga mengingatkan, memang di tahun politik seperti sekarang perang ide itu penting. Namun, seharusnya bukan cuma menarik saja tapi harus jelas dan masuk akal.
"Idenya memang menarik, siapa yang gak mau punya pajak kecil kan. Perang ide memang wajar tapi perlu di cek lagi validitas dan rasionalitasnya," kata Yustinus.
Halaman 2 dari 5











































