"Ada dua inovasi yang sedang dilakukan. Agar terjadi secara tidak langsung cross subsidy, memberikan tarif-tarif murah pada jam-jam tertentu, memberikan tarif komersial bagi waktu-waktu tertentu," ujar Budi di UGM, Selasa (22/1/2019).
"Kedua inovasi tentang barang. Kalau kita mau pergi ke mana-mana ya persiapkan diri kita dengan cermat. Kalau bisa bawa barang seperlunya. Sehingga enggak perlu bagasi yang besar, sehingga bisa dengan LCC yang murah," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi menjelaskan sajak awal pihaknya telah berkomunikasi dengan pihak maskapai, akhirnya setelah mengkaji persoalan tersebut pihaknya meminta kenaikan harga pesawat dikaji ulang.
"Tapi ada satu (persoalan) yang lain saya juga ingin penerbangan ini eksis, penerbangan itu survive agar bisa tetap (terbang). Oleh karenanya dalam hari-hari ini saya selalu berdiskusi bagaimana menyikapi ini," paparnya.
Setelah berdiskusi dengan beberapa pihak terkait, akhirnya kemenhub memberikan dua solusi tersebut. Pertama menerapkan skema cross subsidy, kedua inovasi tentang barang di bagasi supaya menjadi low cost carrier (LCC).
"Seperti Yogya, itu kalau siang tarifnya (ke Jakarta) seperti dulu Rp 700 ribu. Tapi kalau pagi ya komersial, sehingga cross subsidy," paparnya.
Namun, Budi mengakui, skema cross subsidy tarif penerbangan belum bisa diterapkan di semua wilayah. "Kalau yang di Yogya sudah (menerapkan skema cross subsidy). Kalau Papua nanti saya bahas," tutupnya.
Saksikan juga video 'Beda Harga Avtur Jadi Alasan Harga Tiket Pesawat Domestik Mahal':
(hns/hns)