Adang Suparno, seorang petani di Kampung Cipalegor, Desa Kiarajangkung, Kec. Sukahening berbagi kisah suksesnya membudidayakan padi organik.
"Awalnya ragu juga, karena kan sudah terbiasa dengan cara konvensional," kenang Adang sebelum yang mulai budidaya beras organik sejak tahun 2008 itu.
"Mulai budidaya organik dari 2008, waktu itu ada lahan 13 ha. Alhamduillah hasilnya memang lebih baik dari padi konvensional, dijual juga lebih mahal," ujar Adang.
Padi organik lebih mahal Rp 1.000 - Rp 2.000 rupiah per kilogram, dibanding padi konvensional. Padahal sebagaimana budidaya organik, pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang. Diambil dan dikumpulkan dari kandang ternak kambing dan ternak ayam.
"Pupuk diambil dari kandang ternak yang dipelihara sendiri. Jadi lebih minim biaya, karena tidak perlu mengadakan (membeli) pupuk," katanya.
Berbagai kemudahan juga dirasakan, karena pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan bantuan sarana produksi (saprodi) pertanian.
"Dulu ada bantuan dari saprodi mulai dari traktor, mesin rontok. Ini sangat membantu petani untuk penambahan hasil. Membantu jadi lebih cepat, memudahkan, dan hemat biaya," pungkas Adang.
Hanya satu pesan Adang bagi petani yang ingin sukses berbudidaya padi organik, yakni harus bisa bersabar untuk mendapatkan hasil yang optimal.
"Yaa...harus sabar. Karena di awal pertumbuhannya lamban. Berbeda dengan budidaya padi menggunakan pupuk kimia. Setahun kemudian (barulah) hasilnya bagus," ujarnya menyemangati.
Kesabaran Petani Tasik Berbuah Sumbangan Devisa Negara
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Potensi ekspor ini tentu tidak hanya akan menguntungkan petani. Tetapi petani secara aktif juga turut memberi kontribusi dalam menyumbangkan devisa bagi negara.
Setelah melakukan kunjungan ke sentra padi organik di Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat beberapa waktu lalu, Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian/PSEKP, Kementerian Pertanian (Kementan), Handewi P. Saliem memberikan gambaran potensi nilai ekspor dari komoditas beras organik.
"Nilainya sekitar Rp 840 juta - Rp 3 miliar per tahun (dengan harga Rp 20.000 perkilogram di tingkat Gapoktan)," ujar Handewi.
Informasi yang didapat Handewi dari Gabungan Kelompok Petani Simpatik di Tasikmalaya, Jawa Barat, volume dan nilai devisa tersebut masih bisa ditingkatkan. Karena sampai saat ini permintaan dari negara importir beras organik belum semua dapat dipenuhi. Mengingat beberapa keterbatasan yang masih dihadapi dalam memproduksi beras organik.
"Kementan akan melakukan upaya-upaya, agar kendala dan masalah yang dihadapi dalam pengembangan padi organik tersebut dapat diatasi. Sehingga ekspor beras organik Indonesia dapat menjadi sumber pendapatan devisa yang dapat diandalkan," pungkas Handewi.
Handewi membenarkan keterangan Adang, bahwa keseriusan dan ketelatenan adalah salah satu kendala yag kiatnya harus ditumbuhkan di kalangan petani jika ingin ukses berbudidaya beras organik. Kendala lainnya, areal yang memenuhi persyaratan untuk pengusahaan padi organik masih terbatas. Begitu juga dengan kapasitas mesin untuk memproses beras organik.
"Kementan akan melakukan upaya-upaya, agar kendala dan masalah yang dihadapi dalam pengembangan padi organik tersebut dapat diatasi, maka ekspor beras organik Indonesia menjadi sumber pendapatan devisa yang dapat diandalkan," pungkas Handewi optimis.
Di Indonesia, arah pengembangan padi organik dibagi menjadi tiga wilayah. Yaitu Jawa Barat bagian Selatan di Kabupaten Cianjur, Sukabumi, Garut, Tasikmalaya, Bogor; bagian Timur di Kabupaten Ciamis dan Kuningan; dan bagian Utara Kabupaten Subang dan Purwakarta.
Sebagai salah satu sentra produksi di Jawa Barat, usahatani padi organik di Kabupaten Tasikmalaya sudah dikembangkan sejak sekitar tahun 2004. (dna/dna)