Namun, di usia senjanya kini Metromini mulai pudar dari mata masyarakat. Kemunculan transportasi-transportasi baru di Jakarta mulai menggeser bus oranye-biru ini.
Di ujung masanya kini, bus legendaris ini bagaikan berada di fase 'hidup segan, mati tak mau'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi Transjakarta, yang trayek-trayeknya juga melewati jalur-jalur lama trayek Metromini. Keluhnya Jali keluar setiap dia dilewati bus-bus Transjakarta di tengah perjalanan.
"Waduh sewa gue, colong aja terus, colong sewa gue aja nih Transjakarta. Penuh lagi tuh, sewa kita semua itu aduh!" kata Jali sambil sesekali memukul-mukul kemudinya.
Belum lagi angkutan online yang kian menjamur. Menurutnya, angkutan online paling banyak 'nyolong' penumpang-penumpang yang pulang dari mal dan tempat perbelanjaan. Alhasil, dia sudah tidak berharap lagi untuk 'ngetem' di depan mal sekarang.
Meskipun sulit cari penumpang, justru kini Jali lebih memilih untuk tidak menggunakan kondektur, dia tidak ingin mengurangi kembali pendapatannya yang memang sudah kecil. Kini dia memilih untuk berteriak menawarkan busnya plus mendatangi para penumpang di dalam bus untuk menarik ongkos.
Sudah begitupun, Metromininya tidak juga cepat penuh seperti dulu. Dahulu, menurutnya tidak sampai lima menit Metromini bisa terisi penuh, kini tidak lagi seperti itu, sekali 'ngetem' di Blok M saja dia hanya mendapatkan 3-5 penumpang.
"Maju woi jalan, jalan! Gantian gantian!" tegur sopir Kopaja yang ingin bergantian 'ngetem' di belakang Metromini Jali sambil membunyikan klaksonnya.
"Iya iya iya! Mau jalan nih gue! Sialan baru dapat tiga lagi yaelah udah disodok aja!" keluh Jali sambil menyalakan mesin Metro Mininya dan mulai memacu busnya menelusuri trayek Blok M sampai Lebak Bulus.
Setiap harinya, Jali harus menyetorkan hasil 'narik' kepada bosnya sebesar Rp 350 ribu. Jumlah tersebut merupakan penurunan setoran yang awalnya mencapai Rp 600 ribuan.
Jali juga harus memotong kembali pemasukannya untuk keperluan bahan bakar busnya senilai Rp 200 ribu. Lalu untuk perharinya sendiri kisaran pendapatan kotor Jali hanya menyentuh kisaran Rp 750 ribu-Rp 850 ribu, otomatis tidak banyak hasil 'narik' yang ia bawa pulang.
"Ya nggak banyak kalau sekarang mah, nembus Rp 500 ribu buat dibawa pulang aja udah jarang banget sekarang, paling Rp 200-300 ribu. Ini aja udah se-rit (bolak-balik) gocap aja belum dapat," kisah Jali sambil menghitung uangnya.
Meskipun sudah berkurang jumlahnya, seringkali uang setoran Jali kurang. Setiap kali setorannya kurang, Jali harus mempersiapkan telinganya untuk mendengarkan 'nyanyian merdu' bosnya.
Sudah biasa Jali mendengarkan hal tersebut, "masuk kuping kiri, keluar kuping kanan saja lah," katanya.
Jali bingung hendak ke mana lagi dia mencari uang apabila benar-benar Metromini terjun ke jurang ketiadaan. Mengingat dirinya pun hanya pernah mengenyam pendidikan hingga bangku SMP, itupun tidak lulus.
Satu-satunya keahlian yang dia miliki hanyalah menyupir. Pernah Jali mencoba alih profesi menjadi sopir mobil angkutan online, namun menurutnya tidak ada perbedaan signifikan yang ia dapatkan.
Apalagi saat itu mobil yang ia gunakan, hanya pinjaman, dan tetap saja harus memberikan setoran.
"Narik Grab pernah, tapi ya gitu pakai mobil orang juga. Mesti bayar juga, belum lagi ngerinya kalo tuh mobil lecet apa kenapa gitu kan, udah angus kali tuh akunnya juga, mau daftar yang motor gak punya motor," ungkap Jali.
Kini, Jali cuma berharap satu hal, dia hanya ingin tetap mengemudikan Metromini untuk menyambung hidupnya. Metromini di matanya tidak akan pernah ada matinya, meskipun sudah ditekan kanan kiri, meskipun juga penumpangnya sudah dicuri sana sini.
Pesimistis Bos Jali : Kita Dihancurkan Pelan-Pelan
Makin terpinggirkannya Metromini juga dikeluhkan oleh pihak operator. Wahyudi contohnya, penanggung jawab Pool Metromini Haji Tarno di Rempoa, Jakarta Selatan ini mengatakan Metromini bagaikan dihancurkan secara perlahan.
"Jujur-jujur saja, kita sekarang bagaikan dihancurkan secara pelan-pelan saja. Kita tinggal nunggu waktu aja ini, kalau masih bisa jalan, masih bisa diperpanjang izinnya ya sudah kami masih jalan," kata Wahyudi.
Wahyudi berkisah kini bisnisnya makin mendekati rugi. Hal tersebut akibat makin miniminimnya penumpang Metromini yang berimbas pada setoran yang diberikan para sopir kepadanya.
"Sekarang setoran itu minim, biar kata udah diturunin jadi Rp 350 ribu/hari. Itu aja paling mereka sopir-sopir kasih setoran cuma Rp 250 ribu paling banter," ungkap Wahyudi.
"Duit segitu masih kita arahin buat servis, beli ban, segala macam," tambahnya.
Untuk berharap banyak Wahyudi pun sudah tidak berani lagi. Menurutnya, apabila memang sudah waktunya Metromini berhenti beroperasi dia mengaku ikhlas dan rela saja.
"Dibilang berharap ya mau berharap apalagi, sekarang ya kalo masih bisa jalan ya kita jalan, kalau udah nggak bisa ya yaudah kita ikhlas dan rela aja berhenti. Paling busnya kita potong-potong aja, besi bekasnya dijual biar ada untungnya dikit," ungkap Wahyudi.
Wahyudi makin bingung harus berbuat apalagi pada usahanya, dia memang mengakui Metromini telah kalah bersaing dengan transportasi lain.
"Memang transportasi, teknologi sudah maju kan ya, memang Metro ini udah kalah. Saya juga bingung mau bagaimana lagi, kalau memang sudah waktunya," ungkap Wahyudi.
Untuk para sopirnya, Wahyudi hanya berpesan satu hal. Selagi masih ada kesempatan untuk 'narik' Metromini, pergunakan lah dengan baik, karena menurutnya umur Metromini sudah tidak lama lagi.
"Mumpung masih bisa jalan ya buat para sopir narik yang bener aja, dipergunakan yang baik. Kalau sudah waktunya (berhenti operasi) saya bisa apa? Bukannya nggak mau kasih kerjaan, sekarang ya usaha aja dulu lah ya," kata Wahyudi.
Di tengah kondisi yang memojokkan Metromini di ujung jurang eksistensinya, beberapa orang masih setia dan mau menumpang Metromini menuju tempat yang akan dituju. Memang tidak seramai dahulu, tapi setidaknya masih ada 3-5 orang menumpang sekali bus tersebut jalan.
Banyak alasan diungkapkan, mulai dari kemudahan naik dan turun, kecepatannya, bahkan ada juga yang beralasan 'kepepet'. Ali misalnya, dia mengaku telah menjadikan Metromini sebagai transportasi andalannya dalam berpergian sejak ia muda, fleksibelitas Metromini menjadi alasannya menggemari angkutan ini.
"Saya memang dari dulu udah naik Metromini, berasa sih sekarang makin sedikit. Saya sih suka ribet ya yang fleksibel aja, kalau naik Metro kan tinggal naik, bayar ongkos ke kenek, simplenya itu sih mesti beli kartu isi segala macem," ungkap Ali.
Satu-satunya yang ia keluhkan adalah kini Metromini terlalu lama 'ngetem' mencari penumpang. Siang itu, Ali ingin mengunjungi kerabatnya di daerah Radio Dalam, dia menumpang Metromini dari Lebak Bulus.
"Sekarang ya ngetemnya itu makin lama padahal kalau udah jalan mah cepat banget kan bukan Metro namanya kalau nggak ngebut, susah juga sih emang nyarinya, di belokan mau Pondok Indah ini emang ada terus kan. Ya dari dulu juga naik Metro mahal-mahal banget, sesuai lah nih Rp 4.000," katanya.
Lain lagi dengan Silmi, wanita ini mengatakan rela naik Metromini karena 'kepepet'. Hari itu Silmi ingin pergi menuju Mall Poins Square bersama ibunya, awalnya dia menunggu bus Mini Trans di Radio Dalam, namun karena terlalu lama akhirnya dia naik Metromini.
"Ya saya rada kepepet juga naik Metromini, ya kasian ibu saya kepanasan nunggu Mini Trans. Udah lah sama aja juga kan sampai Lebak Bulus juga yang penting, biar cepet aja," ungkap Silmi.
Silmi mengatakan kekurangan Metromini adalah fasilitasnya, mulai dari udara yang pengap dan panas hingga kursi yang tidak terlalu empuk. Namun, dia mengatakan lebih baik naik Metromini sekarang daripada saat masa jayanya.
"Ya fasilitasnya sih paling, pengap kan ini kurang adem, kursinya juga kurang enak kurang empuk, belom lagi sopirnya kaya punya rem 'grasa-grusu'. Cuma mending naik Metromini sekarang, bisa duduk udah sepi soalnya, coba dulu mau jam berapa juga rame-rame aja kan, pasti berdiri kita kalau naik di tengah gini," kata Silmi.