YLKI Kritik Kebijakan Kantong Plastik Berbayar Tak Efektif

YLKI Kritik Kebijakan Kantong Plastik Berbayar Tak Efektif

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Jumat, 01 Mar 2019 10:16 WIB
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menerapkan kebijakan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) alias kantong plastik berbayar mulai hari ini, Jumat (1/3/2019). Melalui kebijakan tersebut, kantong plastik dikenakan biaya minimal Rp 200.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi memahami kebijakan tersebut. Namun, ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Dia mengatakan, secara istilah kebijakan itu menyesatkan.

"Istilah Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG), sebagaimana kata Aprindo, adalah menyesatkan. Sebab sesungguhnya memang tidak ada kata gratis untuk kantong plastik. Karena semua biaya operasional pelaku usaha sudah dimasukkan dalam cost yang dibebankan pada konsumen lewat harga yang harus dibayar," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima detikFinance, Jumat (1/3/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menuturkan, kebijakan tersebut juga dianggap tidak efektif mengurangi penggunaan kantong plastik. Sebab, nominal Rp 200 tidak mengganggu daya beli konsumen.

"Sekalipun konsumen dengan 5-10 kantong plastik saat belanja, konsumen hanya akan mengeluarkan Rp 1.000-Rp 2.000. Sebuah angka nominal yang tidak signifikan," paparnya.


Menurutnya, yang harus dilakukan asosiasi ialah lebih progresif dengan menggunakan kantong plastik ber-SNI (Standar Nasional Indonesia) sesuai dengan rekomendasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yakni plastik yang mudah terurai lingkungan.

Tulus menambahkan, kantong plastik memang sangat mengkhawatirkan. Dia bilang, seharusnya pemerintah, pelaku usaha, produsen, dan konsumen bersinergi secara radikal mengurangi penggunaan kantong plastik.

"Seharusnya masalah ini menjadi kebijakan dan gerakan nasional yang radikal oleh pemerintah pusat, bukan terfragmentasi secara sporadis di masing-masing daerah. Ini menunjukkan pemerintah, seperti KLHK, Kemendag, Kemenperin belum ada keseriusan, alias masih memble, untuk menyelamatkan pencemaran oleh sampah plastik," ujarnya.

"Dan seharusnya bukan hanya menyasar retailer modern saja, tetapi pasar-pasar tradisional, misalnya dimulai dari PD Pasar Jaya," tutupnya.

(fdl/fdl)

Hide Ads