Ekonom Senior INDEF Fadhil Hasan mengatakan sejatinya ada sejumlah negara yang sudah melakukan kebijakan seperti ini, contohnya di Skandinavia dan Australia yang ekonominya telah maju.
Fadhil menjelaskan, kebijakan tersebut bisa saja dilakukan tapi dengan sejumlah syarat. Salah satunya adalah kemampuan fiskal negara untuk memberikan insentif kepada para pengangguran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, kata Fadhil, negara lain yang telah menjalankan kebijakan tersebut hanya memberikan insentif kepada para pengangguran yang para pekerjanya kebanyakan berads di sektor formal dan terdata dengan jelas.
"Umumnya mereka yang nganggur itu ada di sektor formal. Dan itu teregister, memiliki kejelasan dari sisi jaminan sosial dan sebagainya. Kalau di kita ini kan ada orang yang menganggur, ada orang yang setengah menganggur, ada yang menganggur tersembunyi. Ini kan kompleks," katanya.
Karena itu, menurut Fadhil, saat ini rencana untuk menerapkan kebijakan tersebut belum tepat dilakukan di Indonesia. Apalagi, Fadhil menilai kebijakan seperti ini justru bisa membuat orang jadi malas untuk bekerja atau mencari pekerjaan.
"Jadi saya kira model itu, melihat keadaan kita ini belum tepat, belum cocok diterapkan. Karena nanti konsekuensi anggarannya sangat besar," katanya.
"Ini kan menciptakan moral hazard, kalau dia ciptakan benefit yang unemployement itu, mereka bisa malas bekerja, malas cari kerjaan, padahal sebenarnya relatif pekerjaan itu ada. Jadi ini yang perlu dipertimbangkan program ini perlu dilaksanakan," tuturnya.