Ekonom CSIS Fajar B Hirawan menjelaskan dalam melihat posisi utang pemerintah ada yang harus diperhatikan. Misalnya rata-rata pertumbuhan utang baru di periode Jokowi-JK hanya 9% jauh lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
Fajar mengungkapkan periode 2010-2014 pertumbuhan utang sekitar 20%, periode 2004-2009 itu di atas 100%. Alokasi penggunaan anggaran sudah jauh lebih baik, khususnya untuk sektor infrastruktur yang 5% sejak 2016 kemudian pendidikan tetap menjaga di angka 20%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebut saat ini rasio utang terhadap PDB masih dalam batas aman dan sangat wajar. Yang perlu menjadi catatan juga adalah meskipun berutang, Pemerintah Indonesia memiliki kemampuan untuk membayar utangnya. Kemudian, terkait dengan dampk positifnya.
"Jadi utang yang digunakan untuk sektor produktif justru dapat meningkatkan aset bangsa, terutama melalui pembangunan infrastruktur," ujarnya.
Rasio Utang Masih Aman
Fajar B Hirawan menjelaskan catatan utang pemerintah masih sangat aman karena masih dalam range 30% terhadap produk domestik bruto (PDB).
"PDB kita kan sudah mendekati Rp 15.000 triliun, jadi kalau lihat rasionalnya masih sangat aman dan jauh dari yang tertuang dalam undang-undang (UU) keuangan negara yaitu 60% dari PDB," kata Fajar.
Dia menyampaikan, memang untuk utang pemerintah ini sulit untuk melacak pos pos penggunaannya di sistem keuangan atau di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Agak sulit untuk melacak penggunaan untuk apa saja, karena di dalam APBN penerimaan negara plus utang dan sebagainya akan blended atau dicampur di dalamnya," jelas dia.
Melansir APBN KITA edisi April 2019 yang dikutip, Senin (22/4/2019). Total utang pemerintah terdiri dari banyak komponen. Pertama dari pinjaman yang jumlahnya Rp 791,19 triliun atau 17,32% dari total utang pemerintah.
Jumlah pinjaman juga ada yang berasal dari pinjaman luar negeri yang sebesar Rp 784,05 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 7,13 triliun.
Pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 322,26 triliun, multilateral sebesar Rp 420,61 triliun, komersial sebesar Rp 41,18 triliun.
Sedangkan sisanya 82,68% atau setara Rp 3.776,12 triliun berasal dari surat berharga negara (SBN). Utang lewat SBN terdiri dari denominasi rupiah sebesar Rp 2.761,18 triliun dan denominasi valas sebesar Rp 1.014,94 triliun.