Dia menilai kenaikan tersebut tidak wajar, dan ternyata setelah ditelusuri laba tersebut berasal dari perhitungan utang pemerintah ke Pertamina sebesar Rp 41,6 triliun dari penugasan pemerintah.
"Utang tersebut akan menjadi perdebatan karena 1) aturan dan perhitungan dibuat tahun 2019 setelah APBN 2018 sudah tutup. 2) utang tersebut tidak tercantum sebagai utang tahun 2018 karena tidak dibahas oleh DPR. Sesuai aturan, setiap rupiah beban APBN harus persetujuan DPR," terang Said Didu dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/6/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, kata Said, sangat sulit Pertamina untuk menagih utang tersebut, selain tidak ada landasan hukum, juga tidak ada anggaran pembayaran dalam APBN 2018 dan APBN 2019.
"Jika utang tersebut tdk dibayar artinya tahun 2018, Pertamina rugi sekitar Rp 5 triliun," terang Said.
Said menduga, keuntungan PLN 2018 yang diumumkan beberapa waktu lalu juga mengalami kondisi serupa. Selain itu, kata Said, model memasukkan piutang yang tidak pasti juga terjadi pada laporan keuangan Garuda sehingga dibuat untung.
Menanggapi kritik Said Didu tersebut, Kementerian angkat bicara.
Baca juga: PLN Cetak Laba Rp 11 Triliun di 2018 |
Menanggapi hal tersebut Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menjelaskan piutang dalam laporan keuangan sebuah perusahaan adalah hal yang biasa.
"Piutang itu biasa saja, kan pencatatannya berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) itu normal sekali. Jadi kalau ada kontrak kemudian belum dibayar akan dicatat sebagai piutang maka di dalam neraca itu sudah terjadi," kata Fajar di Kementerian BUMN, Jakarta, Sabtu (1/6/2019).
Dia menjelaskan tak hanya Pertamina yang melakukan hal tersebut, seluruh perusahaan juga melakukan karena memang dibolehkan.
"Pak Said Didu bisa baca lagi APBNnya daripada ribut. Selama ini kan pemerintah juga mencicil sejak zamannya pak Said Didu juga sama tuh seperti itu, dicatat ya," ujarnya. (kil/hns)