Kebijakan ini didasari dari keluarnya kebijakan Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 80/PMK.04/2019. Tujuannya untuk mengurangi penyelundupan dan penyalahgunaan fasilitas.
Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi menjelaskan, selama ini masyarakat RI di perbatasan memenuhi kebutuhan pokoknya di luar negeri. Barang yang dibeli kebanyakan merupakan bahan pokok yang tidak tersedia di perbatasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini WNI yang berbelanja di Malaysia untuk kebutuhan pokok harus menggunakan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB) sebagai identitas. Mereka pun mendapatkan fasilitas pembebasan Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).
Sayangnya selama ini ada oknum pedagang yang mengumpulkan KILB dari masyarakat setempat. Kemudian kartu itu digunakan untuk mendapatkan fasilitas tersebut dan barangnya dijual kembali.
Dari situ Ditjen Bea Cukai akan membangun Pusat Logistik Berikat (PLB) Bahan Pokok di Perbatasan. Dia menyebutnya sebagai toserba yang menjual kebutuhan pokok.
Masyarakat perbatasan nantinya cukup belanja di toserba itu dan tak perlu menyeberang jauh ke negara lain. Toserba itu akan menjual produk bahan pokok yang juga berasal dari toko-toko di negara tetangga yang terdekat.
Sistem identifikasinya pun ikut diubah. Masyarakat yang memiliki KILB akan diidentifikasi melalui pemindai biometrik sidik jari. Dengan begitu akan fasilitas tersebut tidak bisa disalah gunakan dan bisa terpantau kuota belanja yang sudah digunakan.
Seperti diketahui masyarakat di perbatasan diberikan kuota belanja. Untuk di Papua Nugini US$ 300 per bulan, Malaysian 600 ringgit per bulan, Filipina US$ 250 per bulan dan Timor Leste US$ 50 per hari.
Sementara untuk masyarakat perbatasan dari negara sebelah yang belanja ke Indonesia seperti di perbatasan dengan Timor Leste dan Papua Nugini juga akan dibatasi. Pemerintah akan membangun pagar di pasar-pasar di daerah perbatasan. Dengan begitu WNA yang melintas hanya bisa berbelanja di sekitar pasar saja.
(das/fdl)