"Ekspor dalam skala yang besar itu kurang tepat. Tahun 2018 kemarin surplus beras kita 2,85 juta ton, itu sama dengan satu bulan lebih seminggu konsumsi kita. Setiap bulan kan konsumsinya sekitar 2 juta ton. Jadi kan 2,8 itu harusnya untuk persediaan satu bulan ke depan. Kalau seandainya ekspor ya nggak bisa, karena surplusnya masih sedikit," jelas Rusli ketika dihubungi detikFinance, Selasa (9/7/2019).
Kemudian, Rusli mengatakan musim kemarau ini bisa menjadi kesempatan Bulog 'melempar' stok beras berlebih tersebut ke daerah-daerah yang gagal panen atau puso dan juga kekeringan. Faktanya, memang ada 9.358 hektare sawah padi yang gagal panen atau puso dari 102.746 hektare sawah yang mengalami kekeringan di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rusli mengungkapkan, adanya wacana ekspor beras tersebut karena Bulog kelebihan stok beras eks-impor tahun 2018.
"Kenapa Bulog mau ekspor? Karena itu kan bukan beras dari petani (dalam negeri). Itu beras yg dulu diimpor, dulu itu kan Bulog impor. Tiba-tiba Bulog mau ekspor karena dia kelebihan beras, bingung tuh mau disimpan dimana berasnya. Kenapa kelebihan beras tahun ini? Karena tahun 2018 impor," terang dia.
Sebagai informasi, pada awal 2018 Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita memutuskan impor beras pada Februari 2018. Kebijakan impor diambil lantaran harga beras terus melonjak, terutama kualitas medium yang di atas harga eceran tertinggi Rp 9.450/Kg. Pasokan beras ke gudang juga seret karena masa panen terjadi saat musim hujan.
Izin kuota impor dikeluarkan total 2 juta ton. Kuota diberikan secara berkala mulai 500 ribu ton pada Februari, 500 ribu ton lagi di April, dan 1 juta ton di Mei. Namun, September 2018 lalu, Buwas menegaskan, dari kuota 2 juta ton impor beras tersebut, Bulog hanya merealisasikan impor beras sebanyak 1,8 juta ton.
(dna/dna)