Produsen Bir Ini Punya Utang 'Segunung'

Produsen Bir Ini Punya Utang 'Segunung'

Danang Sugianto - detikFinance
Jumat, 26 Jul 2019 18:54 WIB
Ilustrasi/Foto: Istimewa
Jakarta - Anheuser-Busch InBev telah menjadi perusahaan kerajaan bir dengan mengakuisisi pesaingnya SABMiller. Namun perusahaan membangun bisnis bir yang luas dengan utang yang besar.

Proses akuisisi itu membuat perusahaan lebih cepat melakukan penetrasi ke pasar Afrika. Namun pengambilalihan SABMiller juga membuat AB InBev memiliki utang lebih dari US$ 100 miliar atau setara Rp 1.400 triliun.

Pelaku pasar Wall Street dan perusahaan pemeringkat utang mendorong AB InBev untuk menyelesaikan utangnya yang sudah menggunung demi memperbaiki neraca keuangannya. Perusahaan pun telah berupaya dengan memotong dividennya, menurunkan bisnisnya di Australia sebesar US$ 11,3 miliar dan mengeksplorasi pencatatan saham di pasar modal untuk divisi Asia-Pasifik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Semua orang mengharapkan mereka melakukan deleverage lebih cepat," kata Laurent Grandet, analis utama minuman dan makanan di Guggenheim Securities.

Rasio utang terhadap kas perusahaan melonjak drastis setelah mengakuisisi SABMiller pada akhir 2016. Pada akhir tahun itu, utang bersih perusahaan naik menjadi sekitar 5,5 kali dari EBITDA. Angka itu lebih dari dua kali lipat leverage pre-deal perusahaan dan jauh di atas target EBITDA.

Jumlah utang itu membuat peringkat utang perusahaan mengkhawatirkan. Perusahaan disebut hanya memiliki sedikit uang untuk berinvestasi di masa depan.



Tahapan pembayaran utang AB InBev belakangan ini juga melambat. Hal itu lantaran pasar minuman di AS yang terus menurun.

"Pangsa pasar mereka terus-menerus terkikis selama 10 tahun terakhir di Amerika Serikat," kata Analis Fitch Ratings Giulio Lombardi.

AB InBev juga dirugikan oleh masalah ekonomi. Kesepakatan SABMiller meningkatkan eksposur perusahaan ke pasar negara berkembang yang cepat namun fluktuatif. Meskipun itu masuk akal mengingat penurunan kinerja di Amerika Serikat dan pasar yang matang seperti Eropa Barat, menjadi bumerang pada awalnya karena Brasil dan Afrika Selatan jatuh ke dalam resesi.

Permasalahan itu, ditambah dengan tumpukan utang, memaksa AB InBev memangkas dividen sebesar 50% pada Oktober untuk menghemat uang tunai sekitar US$ 4 miliar. Lombardi, mempertanyakan mengapa AB InBev tidak membuat keputusan itu lebih awal.

"Seandainya mereka mulai membayar utang dengan mengurangi dividen sejak dini, mereka tidak akan memiliki tumpukan utang ini," katanya.

Dalam kasus apa pun, Lombardi mengatakan upaya pemangkasan dividen tidak cukup untuk menghindari penurunan peringkat kredit.

Itu sebabnya AB InBev berharap dapat mengumpulkan uang tunai sebesar US$ 9,8 miliar dengan mendaftarkan anak usahanya dengan melakukan IPO di pasar modal Asia-Pasifiknya seperti Hong Kong. Aksi korporasi itu akan menjadi IPO terbesar tahun ini.

Namun, AB InBev tiba-tiba menarik niatan IPO awal bulan ini. Ada beberapa faktor termasuk kondisi pasar.




(das/eds)

Hide Ads