Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menilai ada masalah besar dari penyajian laporan keuangan GIAA 2018. Ada potensi pelanggaran (breach) atas utang jangka pendeknya.
"Masalah yang saya maksud terkait covenant yang breach sehingga utang jadi jatuh tempo," ujarnya kepada detikFinance, Senin (29/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, debt equity ratio (DER) harus maksimal 2,5 kali. Ketiga, ekuitas minimal US$ 800 juta.
"Nah karena ada restatement, maka ekuitas pada tahun 2018 hanya mencapai US$ 730 juta, sehingga covenant untuk utang jangka pendek breach," tambahnya.
Baca juga: 240 Saham Negatif, IHSG Lengser ke 6.299 |
Sebelum dikoreksi kas nya Garuda mencapai cash 5,8% dari total aset. Sementara DER mencapai 2,0 kali dan ekuitas mencapai US$ 910.2 juta. Setelah restatement cash Garuda tetap 5,8% namun DER naik jadi 2,49 kali dan ekuitas hanya US$ 730,1 juta.
Menurutnya jika perusahaan tidak bisa menyelesaikan permasalahan itu, maka akan berat bagi keuangan perusahaannya ke depan. Bahkan bisa berpotensi gagal bayar.
"Jadi seharusnya fokus pada bisnis inti (core business) penerbangan baik passenger maupun cargo. Juga me-manage isu-isu seperti utangnya," tutup Frederik.
Melansir CNN Indonesia, manajemen Garuda Indonesia telah menyampaikan permintaan keringanan syarat pinjaman (waiver) kepada salah satu kreditur. Waiver dikirimkan agar kreditur tidak tergesa menganggap Garuda Indonesia berpotensi gagal bayar utang (default) karena salah satu syarat kredit (covenant) tidak bisa dipenuhi perusahaan.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal mengatakan satu waiver telah dialamatkan kepada Export Development Canada (EDC), karena perusahan tidak bisa memenuhi covenant kredit yang diajukan sang kreditur.
(das/eds)