Menurut Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali sebagai perusahaan penerbangan, sudah seharusnya Garuda Indonesia tidak begitu menggantungkan diri terhadap kerja sama itu.
"Seharusnya memang tidak bergantung dari Mahata sebagai pendapatan ya. Karena Garuda merupakan perusahaan penerbangan jadi seharusnya fokus pendapatan dari penerbangannya," ujarnya kepada detikFinance, Senin (29/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama dari sisi didorong untuk memiliki tarif yang cukup murah, sedangkan bicara dari sisi ongkos, harga minyak sangat volatile dan jalur pasokannya cukup terbatas untuk Indonesia," ujarnya.
Polemik harga tiket pesawat memang sebelumnya bergulir cukup panas. Hingga akhirnya pemerintah memaksa agar maskapai menyediakan slot-slot tertentu untuk tiket murah.
"Menurut saya masih butuh waktu bagi Garuda untuk merombak kinerja supaya penerbangan sendiri menjadi untung," ujarnya.
Sebelumnya manajemen Garuda Indonesia saat merilis kembali laporan keuangan 2018 dan kuartal I-2019, juga mengumumkan bahwa kerjasamanya dengan Mahata yang menjadi biang kerok kekisruhan selama ini dibatalkan.
"Terkait putusan BPK terkait kerjasama Mahata Aero Teknologi, maka Citilink Indonesia selaku pihak yang berkontrak juga telah mengirimkan surat kepada pihak Mahata Aero Teknologi terkait pembatalan kerja sama tersebut," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal dalam keterangan resmi, Jumat (26/7/2019).
Pada 2018 Garuda Indonesia berhasil mengantongi laba bersih sebesar US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Suatu capaian yang luar biasa, mengingat sebelumnya BUMN ini terus mengalami kerugian.
Pengakuan pendapatan atas transaksi itu berasal dari Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia. Pengakuan itu dianggap tidak sesuai dengan kaidah pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) nomor 23.
Sebab manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang di antaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sri Wijaya Air.
Pada tanggal 31 Oktober 2018, Grup Garuda Indonesia dan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) mengadakan perjanjian kerja sama yang telah diamandemen, terakhir dengan amandemen II tanggal 26 Desember 2018, mengenai penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten.
Mahata menyetujui membayar biaya kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dalam penerbangan untuk 50 pesawat A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing 737-800 NG dan 10 pesawat Boeing 777 sebesar US$ 131.940.000 dan biaya kompensasi atas hak pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten untuk 18 pesawat A330, 70 pesawat Boeing 737-800 NG, 1 pesawat Boeing 737-800 MAX dan 10 pesawat Boeing 777 sebesar US$ 80.000.000 kepada Grup setelah ditandatangani perjanjian kerja sama.
(das/eds)