Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, permasalahan utama dalam pengembangan padi hibrida adalah persoalan lahan. Sebab, petani di Indonesia sebagian besar merupakan petani gurem, atau petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare (Ha).
"Sebenarnya kenapa hibrida ini belum dikembangkan dengan baik karena persoalan dasar yang belum diselesaikan yaitu masalah penguasaan lahan. Lahan yang sempit ini mau diapakan?" kata Sutarto di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sampai sekarang itu yang membeli benih itu adalah petani yang mampu, yang lahannya luas. Yang lahannya sempit ya menunggu bantuan pemerintah," tutur Sutarto.
Sebagai informasi, sejak tahun 2009 hingga 2017, luas tanam padi hibrida sendiri terus mengalami penurunan. Berdasarkan data yang ada dalam penelitian Central for Indonesian Policy Studies (CIPS), luas tanam padi hibrida pada tahun 2009 sebesar 5,2%, dan terakhir pada tahun 2017 hanya sebesar 0,4%.
Padahal, apabila dikembangkan, Senior Research CIPS Indra Khrisnamukti mengatakan, produktivitas padi hibrida lebih besar dibandingkan padi inbrida.
"Beras hibrida ini sendiri memiliki produktivitas musiman rata-rata 7 ton per hektare (Ha), sedangkan padi inbrida 5,15 ton/Ha," ujar Indra.
(fdl/fdl)