-
Kebijakan pelarangan minyak goreng curah mulai tahun 2020 timbulkan kontroversi. Baik dalam penerapannya, maupun wacana penyetopan edaran minyak goreng curah menjadi pertanyaan besar.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita buka suara. Dalam pernyataannya kepada detikcom, Enggar meluruskan kontroversi terkait kebijakan yang dicetuskannya itu.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan bahwa minyak goreng curah tak akan ditarik dari pasaran. Namun, penjualannya nanti harus dikemas dalam suatu kemasan sederhana.
Adapun harganya, minyak goreng curah dalam kemasan dipatok menyesuaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 11.000 per liter mulai tahun depan.
"Produsen wajib membuat migor (minyak goreng) kemasan sederhana dengan HET Rp 11.000. Migor curah masih boleh beredar," tegas Enggar kepada detikcom melalui pesan singkat, Selasa (8/10/2019).
Menambahkan keterangan Enggar, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Suhanto menyatakan, kebijakan minyak goreng curah tahun depan memang soal kemasannya, bukan peredarannya.
"Kebijakan tetap mengarah ke minyak kemasan, bertahap," ujar Suhanto.
Menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Suhanto, kebijakan melarang minyak goreng curah mulai tahun 2020 bukanlah 'kabar baru'. Terutama bagi produsen dan distributor minyak goreng curah. Pasalnya, sejak 2014 rencana minyak goreng curah harus dijual dengan kemasan ini sudah disampaikan, namun ada kendala dalam penerapannya. Sehingga, produsen meminta kelonggaran dengan diundur hingga tahun depan.
"Yang pasti latar belakang dari pengaturan minyak curah ini disampaikan memang sudah sejak 2014, dasarnya ada Permendag nomor 80 tahun 2014. Namun, pada waktu itu pelaku usaha belum siap sehingga revisi dengan Permendag 09 tahun 2016 yang pemberlakuannya pada waktu itu sebetulnya Januari 2017. Pada waktu itu pun pelaku usaha belum siap dengan sarana dan pra sarananya. Atas kesepakatan semua pihak, ada pengunduran lagi 1 Januari 2020 yaitu dengan Surat Menteri Perdagangan," terang dia kepada detikcom.
Nantinya, dalam kemasan minyak goreng curah, masyarakat akan memperoleh keterangan mulai dari merek dagang, nama produsen, berat bersih, tanggal kadaluarsa, kandungan, dan label halal yang selama ini tak ada. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menuturkan, hal itu dilakukan sebagai wujud pelaksanaan hak konsumen,
"Konsumen harus terlindungi. Dan, harus tersedia produk yang dipastikan higienitasnya dan halal," pungkas Enggar.
Enggartiasto menjelaskan, pemerintah tak memiliki niat untuk mematikan industri kecil dan menengah yang bisa menggunakan minyak goreng curah. Karenanya, harga minyak goreng kemasan dan ketersediaannya dijamin pemerintah, tidak memberatkan, dan tidak berbeda jauh dengan minyak goreng curah.
"Tidak ditarik. Jadi, per tanggal 1 Januari (2020) harus ada minyak goreng kemasan di setiap warung, juga sampai di pelosok-pelosok Desa," tegasnya.
Enggar mengatakan, minyak goreng curah merupakan minyak yang diproduksi oleh produsen minyak goreng yang merupakan turunan dari CPO dan telah melewati proses Refining, Bleaching, dan Deodorizing (RBD) di pabrikan.
Selama ini pendistribusian minyak goreng tersebut, dilakukan dengan menggunakan mobil tangki yang kemudian dituangkan di drum-drum di pasar. Proses distribusi minyak goreng curah biasanya menggunakan wadah terbuka. Akibatnya bisa rentan kontaminasi air serta binatang.
Pengusaha minyak nabati alias minyak goreng mengaku mendukung kebijakan pemerintah soal minyak curah harus pakai kemasan. Pengusaha mengungkapkan memang banyak praktik berbahaya dalam industri minyak curah selama ini.
Salah satunya, menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga selama ini banyak beredar minyak yang tidak jelas juntrungannya. Banyak minyak yang dialirkan ke pedagang eceran tidak jelas asalnya.
"Persoalan intinya itu di pasar, sumber minyaknya yang dalam drum-drum itu ke pedagang eceran tidak jelas dari mana," kata Sahat kepada detikcom, Selasa (8/10/2019).
Lebih jauh, Sahat menuturkan selama ini banyak pihak nakal yang sengaja menjual minyak jelantah alias minyak bekas pakai ke pedagang eceran. Lebih mengerikan lagi, minyak-minyak jelantah didapatkan dari sisa-sisa restoran hingga perhotelan.
"Bisa juga itu minyaknya sumbernya itu bekas jelantah, dikumpulkan dari hotel sampai fast food dibersihkan dijual lagi balik. Itu yang berbahaya," jelas Sahat.
Sahat mengatakan memang kebijakan ini memiliki tingkat urgensi yang tinggi untuk diterapkan.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menjelaskan soal rantai pasokan minyak goreng curah dari produsen ke konsumen. Awalnya, minyak goreng dari pabrik dikirim ke agen, kemudian dari agen didistribusikan kembali ke pedagang eceran. Semua minyak, kata Sahat, diangkut menggunakan drum-drum kecil.
Sampai di pedagang eceran, minyak-minyak itu akan dikemas. Pengemasannya pun tergolong sederhana, pedagang hanya menciduk minyak-minyak itu ke dalam plastik lalu diikat karet. Semua dilakukan dengan tangan telanjang.
"Yang curah ini dari pabrikan disebar ke agen, agen dikirim ke pasar lewat drum-drum kecil ke pedagang eceran. Oleh pedagang minyak itu diciduk dimasukkan ke plastik-plastik, diikat karet. Itulah yang kita sebut curah, begitu kondisinya," kata Sahat kepada detikcom, Selasa (8/10/2019).
Memang dari pabrik hingga ke pedagang eceran, prosesnya tergolong seadanya dan sederhana tanpa mementingkan kebersihan. Namun, yang lebih ditakutkan Sahat bukan proses itu, tapi dari mana sumber minyak curah itu berasal.
Menurutnya, banyak pihak-pihak nakal yang justru menjual minyak-minyak bekas pakai ke pedagang eceran. Lebih menggelikan lagi, karena tidak jelas pasokannya dari mana, banyak minyak jelantah yang diambil dari sisa restoran hingga hotel yang dijual kembali.
Sahat menyebutkan hingga kini setengah minyak yang beredar di pasar adalah minyak curah. "Jadi gini di pasar itu situasinya sekitar 51% yang beredar itu minyak curah selama ini," paparnya.