Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan pada periode kedua, Jokowi membutuhkan strategi kebijakan ekonomi yang tepat, yang mampu mensinergikan moneter, fiskal serta sektor riil.
Menurut dia dengan sinergi kebijakan ini, maka bisa dioptimalkan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki, mulai dari potensi pasar dalam negeri, potensi sumber daya manusia (SDM) sampai kepada potensi kekayaan ragam dan ketersediaan sumber daya alam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menambahkan tantangan yang harus diselesaikan di periode berikutnya juga dibayangi oleh kondisi global yang diperkirakan mengalami perlambatan.
Jokowi juga harus memacu pertumbuhan ekonomi selama lima tahun ke depan rata-rata 7-8%. Hal ini karena pertumbuhan 5% tidak cukup dan akan membawa Indonesia ke persoalan besar, menumpuknya pengangguran, meningkatnya kemiskinan dan melebarnya jurang ketimpangan.
Seharusnya tahun 2030 ketika Indonesia berada di puncak bonus demografi, justru terjadi bencana demografi. "Pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 sampai 8% adalah tugas yang sangat tidak mudah dengan semua kondisi eksternal dan internal yang tidak cukup mendukung. Tapi sesungguhnya pertumbuhan rata-rata 7-8% selama lima tahun ke depan bukanlah hal yang tidak mungkin," jelas dia.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan dari sisi ekonomi yang harus dilakukan cepat oleh Jokowi adalah menjaga pertumbuhan agar tak berada di bawah 5%.
"Tahun depan sinyal resesi global semakin kuat, jadi saya tidak menaruh harapan ekonomi akan tumbuh 5,3%. usaha yang harus dilakukan adalah menjaga jangan drop di bawah 5%," kata Bhima.
Dia menjelaskan, caranya Presiden harus mampu menjaga daya beli masyarakat dan memperhitungkan kembali dampak pencabutan subsidi energi BBM, listrik dan kenaikan tarif seperti iuran BPJS kesehatan.
"Sedangkan dari sisi ekspor kuncinya adalah perluasan pasar ke negara non tradisional, peningkatan daya saing produk dan peningkatan kontribusi UMKM dalam ekspor," jelas dia.
(kil/hns)