RI Bidik Ekspor Naik 22% di Periode II Jokowi, Bagaimana Kesiapannya?

RI Bidik Ekspor Naik 22% di Periode II Jokowi, Bagaimana Kesiapannya?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 22 Okt 2019 14:35 WIB
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Indonesia terus berupaya meningkatkan kinerja ekspor. Salah satunya dengan menjalin perjanjian dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan 16 negara yang terdiri dari 10 negara ASEAN, dan 6 negara dari Asia Pasifik.

Dengan kerja sama ini diharapkan bisa mendongkrak ekspor Indonesia sebesar 8-11% di 5 tahun pertama dan 18-22% di 5 tahun selanjutnya.

"Dari segi perdagangan 5 tahun pertama Indonesia entry to force, melaksanakan perjanjian ini, 5 tahun pertama ekspor kita bisa meningkat sekitar 8-11%. Setelah 5 tahun pertama tadi, kita bisa meningkat lebih tajam lagi 18-22% itu kalau didukung oleh investasi yang masuk," tutur Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kemendag Iman Pambagyo di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (22/10/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Selain itu, sisi infrastruktur juga terus diperbaiki demi bisa menunjang aktifitas ekspor secara fisik. Dalam hal kesiapan infrastruktur, salah satu yang mendapat perhatian serius adalah perihal kesiapan pelabuhan.

Pelabuhan Tanjung Priok paling siap menjadi pelabuhan pengepul eksport-import. Selama ini cukup banyak pengembangan yang dilakukan Pelabuhan Tanjung Priok untuk meningkatkan kapasitas operasional, sehingga menjadikannya hub gateway untuk muatan eksport import.

"Dengan digitalisasi yang dikembangkan, Priok bisa menekan dwelling time menjadi di bawah 3 hari. Ini berdampak positif untuk semua, termasuk para pemilik kapal," ujar Ketua Umum Indonesia National Shipowners Association (INSA), Carmelita Hartoto, Selasa (22/10/2019).

Dia menegaskan, pengembangan-pengembangan akses menuju pelabuhan juga turut memberi andil positif bagi kinerja logistik, karena pelabuhan hub gateway sangat efektif bila ada akses yang baik dengan sentra industri dari komoditas ekspor.

Mengenai beban biaya logistik yang dinilai masih tinggi, yakni rata-rata mencapai 25 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau lebih tinggi dibandingkan dengan vietnam dan Malaysia, dia berkomentar daya saing kinerja pasti menjadi tantangan, tapi melalui perbaikan kinerja logistik nasional diyakini biaya dapat lebih efisien.

Untuk layanan direct call yang terus bertambah, menurutnya jelas akan menurunkan biaya logistik. Dari segi waktu saja sudah terjadi efisiensi.

"Kunci dari keberhasilan direct call adalah terdapatnya cargo volume yang madai bagi shippinglines. Inilah yang juga perlu dikejar untuk direct call," paparnya.


(dna/dna)

Hide Ads