Pengamat perikanan Suhana, menyatakan bawa penyelundupan telah ada sejak 2010. Dia menjelaskan kebanyakan modus penyelundupan dilakukan melalui Singapura. Suhana menilai jaringan penyelundup memang sudah mapan.
"Penyelundupan juga sebelum dilarang sudah ada sejak 2010, kebanyakan melalui Singapura. Penyelundupan ini nggak ujug-ujug, mereka sudah mapan dengan jaringannya, itu lah kejahatan ekonomi harus negara benahi," ungkap Suhana kepada detikcom, Minggu (15/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan dia menjelaskan bukan cuma lobster, banyak hasil laut juga diselundupkan, salah satunya ikan cakalang. "Penyelundupan itu juga nggak cuma lobster, ikan lain juga banyak, cakalang itu," lanjutnya.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mencatatkan aliran dana dari hasil penyelundupan ekspor benur lobster mencapai Rp 900 miliar. Jumlah ini didapatkan dari hasil penelusuran PPATK dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Badan Reserse Kriminal Polri.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menyatakan dalam satu tahun ada aliran dana dari luar negeri yang digunakan untuk mendanai pengepul membeli benur tangkapan nelayan lokal mencapai Rp 300 miliar hingga Rp 900 miliar.
"Jadi aliran dana dari kegiatan penyelundupan lobster ini bisa mencapai Rp 900 miliar, uangnya itu besar dan melibatkan antar negara," kata Kiagus dalam konferensi pers Refleksi Akhir Tahun di Kantor PPATK, Jakarta, Jumat (13/12/2019).
Kembali ke Suhana, penyelundupan dilakukan karena budidaya lobster cukup sulit di dalam negeri. Suhana melanjutkan, pakan lobster sangat mahal. Pakan utamanya, ikan rucah membutuhkan hingga puluhan kilogram sedangkan untuk mencari sebanyak itu cukup sulit, terlebih lagi dengan ada larangan cantrang.
"Harus tahu lagi, satu kg lobster itu butuhkan 30-50 kg ikan rucah sebagai pakan. Pakan penggantinya belum ada, kalau ada pun mahal, sampai sekarang belum ada pabrik pakan lobster dalam negeri," ungkap Suhana.
(dna/dna)