Jika populasi tinggi tentu memungkinkan dilakukan ekspor, tapi jika populasi minim maka ancaman kepunahan mengintai.
"Nah pertanyaannya siapa yang bisa menghitung populasi lobster di laut. Susah, belum ada yang bisa. Artinya ketimbang mengambil risiko kepunahan, lebih baik ekspor benur lobster jangan dilakukan," kata Jeje yang juga Bupati Pangandaran, Jumat (20/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Taruh harganya Rp 50 ribu, dapat 10 ekor jadi Rp 500 ribu. Banding jika benur dibiarkan dulu sampai layak konsumsi. Satu ekor saja sudah terjual Rp 600 ribu, bonusnya lingkungan terjaga," kata Jeje.
Dia mengatakan HNSI Pangandaran akan merapatkan barisan dan menyusun langkah-langkah untuk memperjuangkan sikap penolakan benur lobster.
"Segera kami rapatkan, apalagi masalah ini sudah ramai di kalangan nelayan. Kami ingin laut Pangandaran tetap terjaga kelestariannya," kata Jeje.
Sebagai anak nelayan dan lulusan sekolah perikanan, Jeje ingat betul ketika laut Pangandaran memberikan berkah bagi nelayan dengan hasil tangkapan lobster yang melimpah.
"Semasa SD dan SMP, lobster di Pangandaran setiap hari terangkat dalam hitungan ton. Jadi mari kita perbaiki kerusakan ekosistem laut agar laut membalasnya dengan hasil yang melimpah," ungkapnya.
(eds/eds)