Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berlangsung hampir dua tahun lamanya. Akhirnya dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia menandatangani kesepakatan gencatan senjata pada Rabu, (15/1/2020).
Presiden AS Donald Trump menandatangani apa yang disebut kesepakatan perdagangan fase satu dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He, yang memimpin tim negosiasi Beijing, Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer serta Menteri Keuangan Steven Mnuchin.
Trump juga menyatakan terimakasih kepada Presiden China Xi Jinping dan mengatakan dia akan berkunjung ke China dalam waktu tidak terlalu jauh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sebuah kesempatan, Jinping pun menyatakan bahwa dirinya menyambut kesepakatan perdagangan fase satu yang tercapai dengan AS.
Trump mengatakan bahwa kesepakatan perdagangan fase satu dengan China menjadi sebuah terobosan. Pemerintah AS mengatakan perjanjian itu akan mengurangi beberapa tarif dan memungkinkan China lepas dari pajak tambahan dari hampir US$ 160 miliar terhadap barang-barangnya.
Pemerintahan Trump juga sudah menerima komitmen China untuk membeli produk pertanian bernilai miliaran dolar AS.
Lantas apakah kesepakatan antara AS dan China mengakhiri perang dagang?
Ketegangan antara dua negara dengan ekonomi terbesar dunia kemungkinan berlanjut tahun ini. Keduanya akan memasuki pembicaraan lebih lanjut yang diperkirakan lebih sulit dibandingkan fase pertama.
Ditambah lagi Uni Eropa tak bisa berkutik karena perselisihan dagang dengan negeri Paman Sam. Kemudian Inggris yang jika lepas dari Uni Eropa harus menjalin hubungan dagang baru dengan mitra ekspor terbesarnya.
"Apakah kita berada di tempat yang pas? Tidak," kata Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dikutip dari CNN, Kamis (16/1/2020). Namun ia mengatakan bahwa ini adalah langkah yang baik.
Para ekonom dan analis pasar tetap mewaspadai apakah kedua negara bisa membuat kemajuan yang lebih serius, misalnya permintaan AS agar China bisa mengurangi perannya dalam perekonomian negara tersebut.
"Ini tidak menandai berakhirnya ketegangan antara AS dan China," tulis analis Capital Economics.
Sebanyak dua pertiga impor AS dari China sekitar US$ 370 miliar masih akan dikenakan tarif setelah perjanjian ini diteken. Lebih dari setengah ekspor AS ke China juga begitu.
"Penurunan tarif adalah hal yang baru," tulis Chad Brown, mantan ekonom Bank Dunia.
China dinilai yang paling diuntungkan dengan kesepakatan yang dicapai, ketimbang AS. Benarkah?
Dari kesepakatan yang dihasilkan, China yang dianggap paling diuntungkan ketimbang AS untuk jangka panjang.
Dikutip detikcom dari New York Times, Kamis (16/1/2020), banyak elemen dari kesepakatan kedua negara yang bakal membuat ekonomi China lebih kuat. China pun akan lebih inovatif karena dari kesepakatan yang dibuat, China akan menahan diri dari memaksa perusahaan asing yang beroperasi di China mentransfer teknologi mereka ke perusahaan domestik.
Ekonomi China juga dinilai akan mendapatkan dorongan jangka pendek dari kesepakatan perdagangan. Langkah-langkah stimulus, seperti lebih banyak pengeluaran oleh pemerintah daerah, pajak yang lebih rendah, dan lebih banyak kredit bank. Gencatan senjata yang dilakukan juga dapat membantu mengurangi kemerosotan sentimen bisnis dan investasi di China.
Di sisi lain, perjanjian fase satu AS dan China juga dinilai tidak menyelesaikan banyak masalah, sehingga ketegangan antara kedua negara dapat berlanjut sewaktu-waktu. Tetapi setidaknya gencatan senjata masih lebih baik daripada terus melakukan perang tarif.
Sebagai bagian dari kesepakatan, China telah setuju untuk meningkatkan pembelian produk dari Amerika Serikat untuk meredakan kemarahan Presiden Trump.
Kesepakatan itu diharapkan akan membawa beberapa perubahan signifikan untuk ekonomi Amerika meskipun efek jangka panjangnya diperkirakan akan menguntungkan China.