Menurut Risma, membaiknya kualitas udara ini justru memperbaiki produktivitas masyarakat sehingga kegiatan ekonomi terus bergulir.
"Meskipun penduduk semakin banyak, mobil semakin banyak karena pertumbuhan ekonomi Surabaya di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Tidak betul kalau ada yang ngotot bahwa kalau concern di lingkungan kemudian ekonomi turun, salah," tegas Risma.
Ia juga berbicara soal potensi pertanian di wilayahnya yang berhasil karena pengelolaan lingkungan. Menurutnya, sektor pertanian di Surabaya cukup baik bahkan bisa diandalkan.
"Kalau di daerah lain mengeluh cabai mahal, cabai mahal. Itu tidak terjadi di Surabaya, karena kami bisa tanam cabai sendiri, kami bisa menanam sayur sendiri," kata Risma.
Dengan menjaga stabilitas harga cabai itu, menurut Risma inflasi di Surabaya bisa terkendali. Selain itu, ia juga memberdayakan industri hotel di Surabaya untuk membeli sayur produksi warga kota tersebut.
"Dulu awal saya jadi Wali Kota, inflasi tertinggi di Surabaya itu adalah sayur-sayuran tetapi sekarang kami sudah bisa menanam sayur semuanya saja. Yang dulu nggak pernah kebayang kan oh itu misalnya ada selada itu hanya ada di dataran tinggi, tapi Surabaya sudah bisa tanam sendiri," imbuh Risma.
"Dan seluruh hotel kami sudah gunakan itu. Jadi warga selain menggunakan untuk sendiri juga mereka jual. Sehingga masyarakat mendapatkan
income dari penjualan
urban farming tadi," sambungnya.
Keberhasilan tersebut berawal dari cara pengelolaan sampah di Surabaya. Menurutnya, dengan merombak habis cara pengelolaan sampah, sederet hal positif muncul di kota tersebut.
"Masyarakat mengelola dan kemudian mengolah sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganiknya mereka jual. Dan kemudian kita ajarkan pula, setelah jadi kompos untuk apa. Kalau tidak laku maka warga kita ajarkan mereka membuat program yang namanya urban farming," jelas dia.
Pengelolaan sampah ini tak hanya berguna untuk menjadi pupuk kompos, tapi juga kata Risma berdampak signifikan pada kualitas udara di Surabaya.
"Jadi misal tentang pengelolaan sampah, saya tahu bahwa sampah kalau tidak diolah dengan baik, bukannya cuma kota itu menjadi kotor, tapi bahwa juga akan membuat gas metan yang merusak sistem udara di Indonesia khususnya di Surabaya," ucapnya.
Selain membeberkan sederet keberhasilan Surabaya di aspek lingkungan tersebut, Risma juga bicara soal infrastruktur penangkal banjir di kotanya.
Klik halaman berikutnya >>>Curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir di mana-mana, termasuk Surabaya. Untuk itu, Pemkot Surabaya tengah berupaya memaksimalkan kinerja infrastruktur penangkal banjir agar bencana itu tak terulang lagi.
"Kami membuat waduk-waduk yang cukup banyak di Surabaya. Saat ini kurang lebih ada 72 lokasi. Saya mulai dengan tiga, hanya tiga di Surabaya awalnya, saat ini ada 72 lokasi," terang Risma.
Selain itu, kata Risma, pompa di titik-titik rawan banjir karena tingginya air juga dioperasikan.
"Kemudian kami juga ada pompa-pompa yang mengendalikan permukaan air sehingga secara alamiah air bisa masuk melalui waduk-waduk tadi. Saya punya kamera yang (2.000 lebih CCTV di Surabaya) pantau pompa saya. Saya bisa liat lewat iPad pompanya dinyalakan atau tidak. Dia bisa langsung lihat rumah pompa saya kondisi saat ini," jelas Risma.
Selain itu, dengan anggaran yang ada, Pemkot Surabaya juga membangun tanggul dari tanah untuk menangkal banjir.
"Sekarang ini luar biasa curah hujan, di Surabaya rata-rata 150-180 meter kubik per detik. Kemudian berikutnya adalah sekitaran pantai karena kami nggak punya uang kalau kemarin saya lihat di Jakarta itu pakai sitepal, kami nggak punya uang jadi saya membuat apa? Tanggul dari tanah. Saya pikir di Belanda saja pakai itu, kenapa saya harus pakai mahal-mahal," paparnya.
Dengan tanggul sederhana itu, menurut Risma, 5 tahun ini di wilayah barat Surabaya tak lagi banjir.
"Saya pakai itu lebarnya kurang lebih 15 meter, tingginya kurang lebih 20 meter. Jadi itu yang dulu kawasan-kawasan Surabaya Barat selalu kena Kali Lamong, 1 tahun bisa 2-3 kali banjir alhamdulillah sudah 5 tahun ini nggak banjir," pungkas dia.