Pengusaha Merasa Dirugikan Jastip, Kok Bisa?

Pengusaha Merasa Dirugikan Jastip, Kok Bisa?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Kamis, 23 Jan 2020 14:03 WIB
Foto: iStock
Jakarta -

Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mengeluhkan maraknya penjualan barang impor melalui jasa titip (jastip). Menurut pengusaha-pengusaha tersebut, lapaknya di Indonesia tergerus sehingga dampaknya merugikan.

Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, barang impor melalui jastip seharusnya tak diperjual-belikan. Pasalnya, pelaku jastip ini menikmati fasilitas bebas bea masuk dari pemerintah untuk barang pemakaian pribadi.

Ia mengatakan, aktivitas pemecahan barang atau splitting yang kerap kali dilakukan oleh pelaku jastip merupakan aksi pelanggaran norma perdagangan. Pasalnya, pelaku usaha dalam negeri ketika menjual barang impor pun harus patuh membayar bea masuk sehingga harganya akan lebih tinggi dibandingkan jastip.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau jastip ini kan personal use. Kalau memang trading ya trading saja, jangan masuk ke celah-celah yang tidak diperuntukkan. Jadi kalau jastip masuknya puluhan kontainer itu kan aneh," kata Hariyadi di kantor Apindo, Jakarta, Kamis (23/1/2020).

Tak hanya Hariyadi, Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin, Tutum Rahanta juga menyuarakan hal yang sama. Menurutnya, dengan banjirnya barang impor langsung ke Indonesia sebanyak 57,9 juta paket pada tahun 2019 saja sudah merugikan pedagang RI. Apalagi dengan adanya penjualan melalui jastip.

ADVERTISEMENT

"Yang sekarang ini consignment notes (paket) mendadak naik karena mereka beli online yang basisnya dari luar negeri. Lalu mereka juga masuklah dengan barang jasa titipan yang tidak kena bea masuk. Dirugikanlah bangsa kita ini," tegas Tutum.

Begitu juga dengan Ketua Umum Hippindo Budiharjo Iduansjah. Menurutnya, penjualan melalui jastip ini sangat merugikan para peritel Indonesia yang patuh dengan kebijakan bea masuk dan pajak.

"Adi didefinisikan banyak UKM (usaha kecil menengah) yang menjual lagi barang-barang dari luar negeri. Nah ini yang memukul penjualan para pelaku di Hippindo, yang secara offline dan online penjualannya tidak bersaing secara fair," pungkas Budiharjo.

Sebagai informasi, dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 199/PMK.04/2019, barang impor via e-commerce seharga US$ 3 atau Rp 45.000 dikenakan bea masuk dan pajak sebesar 17,5%. Namun, kebijakan itu tak berlaku untuk barang hand carry alias barang yang dibawa langsung dari luar negeri. Otomatis, para pelaku jasa titip alias jastip tidak terpengaruh aturan ini.

Namun, pelaku jastip bukan berarti tidak terkena pajak. Dari catatan detikcom, dikutip Senin (13/1/2020), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 203/PMK.04/2017, batasan ketentuan barang bawaan ditetapkan sebesar US$ 500 per orang atau setara Rp 7 juta (Kurs Rp 14.000).

Jadi jika jastip membawa barang dengan harga melebihi batasan, maka kelebihannya itu yang dikenakan pajak. Misalnya membawa barang US$ 550, maka US$ 50 yang terkena pajak. Mulai dari bea masuk, PPh, dan PPN.

Pengusaha Merasa Dirugikan Jastip, Kok Bisa?



(fdl/fdl)

Hide Ads