Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo meluncurkan strategi pemanfaatan perikanan rajungan, kakap, kerapu. Menurut Edhy yang didampingi Direktur Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) M. Zulficar Mochtar, strategi ini penting untuk menanggulangi ekploitasi yang mengancam sektor perikanan.
"Ikan-ikan ini dominan ditangkap oleh nelayan skala kecil. Namun, adanya perilaku konsumen dan besarnya permintaan pasar mengakibatkan eksploitasi yang berlebih sehingga berdampak pada penurunan stok rajungan, kakap dan kerapu," papar Edhy dalam keterangan tertulis, Rabu (4/3/2020).
Edhy menambahkan komoditas rajungan, kakap, dan kerapu merupakan sumber pendapatan masyarakat skala kecil. Komoditas perikanan tersebut memiliki kontribusi senilai Rp 5.4 miliar per tahun terhadap devisa negara baik dalam bentuk hidup, segar, beku, maupun berbentuk olahan. Namun apabila tidak segera dikendalikan dan diatur, kerusakan komoditas perikanan dapat terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penangkapan ikan yang dilakukan nelayan tentu bisa merusak potensi komoditas perikanan tersebut apabila tidak dikendalikan dan diatur. Oleh sebab itu, kita perlu mengatur sedemikian rupa melaui strategi pemanfaatan ini, misalnya batas ukuran penangkapan ikan dengan berat minimal 500 gram dan panjang karapas rajungan minimal 10 cm," paparnya.
Sementara Zulficar menyebut bahwa peluncuran strategi pemanfaatan perikanan ini dapat menjadi acuan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Karakteristik 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang berbeda akan menjadi tantangan tersendiri untuk pemerintah dan pihak yang berkepentingan.
"WPPNRI sebagai basis spasial pembangunan kelautan dan perikanan telah ditetapkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024. Untuk itu peran koordinasi LPP WPPNRI menjadi penting sebagai wadah koordinasi untuk mengusulkan rekomendasi arah pengelolaan perikanan bukan eksekutor kebijakan. Pengambilan keputusan kebijakan perikanan tetap dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan," ujar Zulficar.
Menurutnya, industri perikanan rajungan telah menyerap sekitar 275.000 orang dan berkontribusi memberikan devisa sebesar Rp 4.6 miliar dan menduduki peringkat ketiga dalam nilai ekspor hasil perikanan setelah ikan tuna dan udang. Negara yang paling banyak mengimpor rajungan dari Indonesia adalah Amerika Serikat (71%), Jepang (9%), dan Malaysia (7%).
"Strategi pemanfaatan untuk pengelolaan perikanan rajungan berkelanjutan sangat penting diterapkan dengan mempertimbangkan aspek ekologi dan ekonomi. Selain membatasi ukuran minimum karapas dengan lebar 10 cm juga pada izin kapal penangkap ikan yang harus terdaftar agar mudah pengendaliannya," tambahnya.
Di sisi lain, perikanan kerapu memberikan kontribusi nilai ekspor sebesar Rp 200 miliar per tahun dan merupakan penyumbang 45% dari volume total kakap yang diperdagangkan di dunia. Sedangkan sektor perikanan kerapu berkontribusi menyumbang nilai ekspor Rp 567 miliar per tahun dan Indonesia merupakan produsen kerapu terbesar kedua di dunia.
"Besarnya permintaan ekspor ini mendorong intensitas eksploitasi penangkapan, sehingga berpotensi menurunkan stok dan merusak habitat alami. Untuk itu, agar pemanfaatan potensi perikanan kakap dan kerapu terus optimal, pemerintah perlu mengatur dan mengendalikan penangkapannya tak hanya pada ukuran dan berat minimal namun juga dari penggunaan alat penangkapan ikan yang selektif," pungkasnya.
(mul/mpr)