Pekan lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio mengungkapkan, 70% produk dalam lapak e-commerce di Indonesia merupakan produk ekonomi kreatif (ekraf). Akan tetapi, di antara produk tersebut, hanya 10% dihasilkan oleh pengusaha lokal.
Kenapa hal ini bisa terjadi?
Menurut Pengamat Ekonomi Digital dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, ketimpangan itu terjadi lantaran pemerintah selama ini dianggap kurang lihai dalam membangun ekonomi digital Indonesia.
"Ini terjadi karena kita tidak memiliki strategi dan leadership bagaimana membangun ekonomi digital Indonesia yang seharusnya bisa memberi kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dan peningkatan ekonomi bangsa," ujar Heru kepada detikcom, Jumat (13/3/2020).
Ditambah lagi, pemerintah dinilai terlalu mudah berbangga diri dan percaya begitu saja dengan data-data yang disajikan lembaga luar negeri terkait pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Indonesia memang sempat menyandang status negara dengan petumbuhan e-commerce tercepat di dunia.
Predikat itu setidaknya dikeluarkan oleh Lembaga riset asal Inggris, Merchant Machine yang sempat merilis daftar sepuluh negara dengan pertumbuhan e-commerce tercepat di dunia. Indonesia berada pada urutan pertama dibanding negara-negara lain dengan pertumbuhan 78% pada 2018. Selain itu, lembaga riset lainnya, sempat meramal pertumbuhan ekonomi dari pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia bisa mencapai US$130 miliar atau setara Rp 1.820 triliun (kurs Rp 14.000/US$) di 2025 mendatang.
"Kita bukan kecolongan, kita di-nina bobo-kan angka-angka potensi e-commercce yang dibuat beberapa lembaga luar negeri yang seolah nilai US$ 130 miliar, dan bisa mempunyai dampak terhadap ekonomi RI. Padahal omong kosong. Itu adalah angka perputaran uang di mana Indonesia dianggap sebagai pasar," pungkasnya.
(dna/dna)