Pembahasan Omnibus Law Jangan Tinggalkan UMKM

Pembahasan Omnibus Law Jangan Tinggalkan UMKM

Hendra Kusuma - detikFinance
Sabtu, 02 Mei 2020 23:00 WIB
Sutrisno Iwantono-Ketua Tim Ahli Apindo
Sutrisno Iwantono/Foto: Dok. Pribadi
Jakarta -

Pemerintah dan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. RUU yang juga beken dikenal sebagai omnibus law itu sempat diprotes sejumlah elemen buruh.

Menurut pengamat ekonomi dan peneliti senior pada Institute of Developing Entrepreneurship, Sutrisno Iwantono, fokus pembahasan RUU Ciptaker ini sebaiknya pada pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM).

"Bukankah tujuan utama dari Undang-Undang Cipnaker ini adalah untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Kalau kita bicara lapangan kerja saat ini penyedia lapangan kerja terbesar itu adalah usaha kecil dan menengah," kepada detikcom, Sabtu (2/5/2020).

Iwantono mengutip data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2018, terdapat 64.199.606 unit usaha di Indonesia, terdiri dari UMKM 64.194.057 unit dan Usaha Besar (UB) 5.550 unit. UMKM tersebut menyerap tenaga kerja 120.598.138 orang atau 97%. Sedang yang diserap UB adalah 3.619.507 orang atau 3%. Tenaga kerja pada sektor usaha besar yang 3% inilah sebagian diantaranya diwadahi dalam organisasi buruh atau sarikat pekerja, masih banyak yang tidak.

"Walaupun anggota serikat pekerja ini sangat kecil tetapi mereka terorganisir sehingga sanggup memberikan tekanan politis yang kuat pada pemerintah maupun DPR. Sedangkan UMKM meskipun mereka mampu menyerap 97% dari angkatan kerja di Indonesia tetapi mereka tidak terorganisir, sehingga tidak dapat menyampaikan aspirasinya di ruang public, apalagi melakukan tekanan politis," terang Iwantono.


Selain itu, Iwantono menilai, pada omnibus law Cipta Kerja ini belum sepenuhnya mewadahi UKM. Bahkan menurutnya masih bersifat normatif.

"Tidak jauh-jauh amat dibanding undang-undang sebelumnya tidak ada muatan yang kongkrit bisa langsung mengangkat posisi UMKM. Soal kriteria UMKM saja Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 yang sekarang berlaku, menurut saya sudah tidak relevan lagi, sudah terlalu sempit dan tidak memberikan ruang gerak untuk meningkatkan kelas dan jauh ketinggalan di banding pesaingnya di negara lain, ditambah lagi tiap-lembaga punya definisi masing-masing," papar Iwantono.

Klik halaman selanjutnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Menurut Iwantono di dalam omnibus law seharusnya juga membahas perpajakan UKM. Sekarang itu, usaha kecil menurut pajak adalah omset di bawah Rp 4,8 M yang dapat pajak final 0,5%, dan ini hanya berlaku 3 tahun untuk UKM yang berbadan hukum. Setelah lewat 3 tahun mereka tidak lagi diperlakukan sebagai UKM yang dikenakan pajak final.

Ada dua kelemahan yang pertama angka Rp 4,8 M itu sudah terlalu kecil, sejak tahun 2013 angkanya seperti itu tidak berubah. Yang kedua jangka waktu hanya 3 tahun, setelah itu tidak berlaku. Masalahnya, kata Iwantono, membuat pembukuan untuk pajak itu yang sulit dilakukan bagi usaha kecil, bayangkan kalau harus menggaji tenaga yang bisa membuat administrasi sebagaimana dikehendaki oleh laporan pajak, dia harus gaji 1 orang Rp 4,5 juta per bulan, setahun sudah Rp 54 juta.

"Untungnya saja tidak ada segitu, hal ini yang memberatkan. Apalagi saya dengar untuk pajak UMK ini akan dibikin klaster-klaster misalnya tukan cukur akan dikenakan pajak final 5 persen, matilah mereka. Pada akhirnya nanti mereka tidak lagi menjadi wajib pajak yang patuh dan negara kehilangan sumber pendapatan. Karena itu besaran omset dan jangka waktu seharusnya diperbaiki," jelas Iwantono

Dia menambahkan, Untuk pembiayaan bagi usaha kecil juga normatif, kenapa tidak ada ketentuan konkret misalanya bank diwajibakan untuk mengalokasikan kredit dalam jumlah persen tertentu untuk memberdayakan UKM.

"Dengan demikian ada jaminan, bukan sekedar himbauan. Sebenarnya masih sangat banyak isu detail yang harus dibahas, dan sekali lagi Omnibus Law sebaiknya focus untuk pemberdayaan UKM," pungkas Iwantono.


Hide Ads