Pandemi virus Corona (COVID-19) menyebabkan pendapatan toko swalayan menurun drastis. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey toko swalayan mulai dari minimarket, supermarket, hingga hypermarket yang masih bisa beroperasi atau tak terdampak langsung mengalami penurunan pendapatan hingga 50%.
Hal tersebut disebabkan oleh perubahan pola belanja atau transaksi dari konsumen. Sehingga, meski toko swalayan tetap diperbolehkan buka selama pandemi, namun peritel tetap mengalami tekanan yang cukup signifikan.
"Kalau yang tidak terdampak langsung itu boleh buka, tapi basket size transaksi dari konsumen mengecil. Karena konsumen datang mereka hanya membeli kebutuhan pokok, langsung bayar, langsung pulang," ungkap Roy kepada detikcom, Selasa (2/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, kebiasaan berbelanja tanpa direncanakan yang biasanya mendongkrak penjualan ritel modern kini hilang.
"Impulse buying yang membeli tanpa direncanakan. Padahal dulu suasana normal impulse buying itu bisa 40% dari total belanja. Yang nggak direncanakan melihat buy 1 get 1, diskon 60%, yang rencananya nggak belanja jadi belanja. Nah itu hilang. Jadi membeli kebutuhan pokok langsung pulang," urainya.
Ia mengungkapkan, konsumen supermarket yang biasanya berbelanja Rp 400.000-500.000/orang kini berhemat bahkan sampai 50%.
"Jadi yang biasa belanja di supermarket Rp 400.000-500.000 sekarang paling Rp 200.000/orang. Yang biasa belanja di minimarket Rp 100.000 sekarang ya hanya Rp 50.000-60.000 belanjanya, misalnya beli gula atau obat, atau vitamin saja. Selain pengunjung turun karena stay at home, tapi basket size pengunjung yang ke toko juga turun," imbuh Roy.
Padahal, selama beroperasi di tengah pandemi Corona, para peritel harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk implementasi protokol kesehatan seperti menyediakan hand sanitizer, alat pelindung diri (APD), dan sebagainya.
Meski biaya bertambah, namun ia memastikan produk yang dijajakan peritel tak akan dinaikkan harganya.
"Kita kan ritel modern 90% korporasi. Jadi kalau korporasi harga itu, ketika ada beban terus dinaikkan semaunya, tidak mungkin. Karena harga adalah bagian dari pada supply chain, berdasarkan produsen, pabrikan, sektor transportasi dan logistik, dan kami, jadi harga itu baku. Kalau ada kenaikan bukan karena ada beban biaya, tapi produsen menaikkan harga misalnya karena bahan baku sulit, atau karena impor sehingga harus diulang," paparnya.
Namun, untuk mengurangi beban biaya operasional, pihaknya meminta pemerintah memberikan bantuan. Misalnya diskon tarif listrik komersial.
"Kita masih berharap adanya kelonggaran biaya operasional listrik. Ini kan Kementerian BUMN, PLN. Kita masih menanggulangi biaya komersial B3, dan selama pandemi ini belum ada relaksasi kepada ritel modern yang diminta terus buka. Padahal produktivitas turun, biaya-biaya meningkat tadi dengan hand sanitizer, disinfektan, dan sebagainya," jelas Roy.
"Kita berharap jam normal dari 10 pagi sampai 10 malam, pada jam-jam yang peak atau siang itu dapat direlaksasi, didiskon untuk biaya PLN. Sehingga dari 12 jam kita buka, misalnya 6 jam direlaksasi, 6 jam normal. Itu juga tentu mengurangi dari pada beban biaya operasional," sambung dia.
(eds/eds)