Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjawab kontroversi kebijakan ekspor benih lobster dan penggunaan alat tangkap cantrang. Menurut Edhy, kebijakannya ini dibuat demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat.
"Yang paling penting, izin itu dibuat untuk kesejahteraan, manfaat atau tidak ke masyarakat," kata Edhy dalam keterangan resminya, Jumat (3/7/2020).
Lalu, terkait kebijakan ekspor benih lobster yang tertuang dalam Permen KP Nomor 12 tahun 2020 tentang pengelolaan lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajunfan (Portunus spp.) di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Edhy menegaskan tujuannya ialah mempertahankan nelayan yang hidup dari menangkap benih lobster. Selain itu, menurut Edhy regulasi tersebut diutamakan untuk membangkitkan geliat budidaya komoditas tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita libatkan masyarakat untuk bisa budidaya (lobster). Muaranya menyejahterakan," urainya.
Untuk perizinan menggunakan alat cantrang, Edhy mengakui ada bentrok dengan nelayan tradisional. Namun, ia menegaskan penggunaan cantrang ini tak serta-merta diberlakukan di semua lokasi dan kalangan nelayan. Namun, KKP melakukan penataan sesuai zonasi.
"Ini bukan ngomong pengusaha besar. Banyak rakyat-rakyat juga yang punya cantrang," jelas Edhy.
Dengan penjelasannya di atas, Edhy berharap publik melihat dua kebijakannya itu secara utuh. Ia mengatakan, arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan meliputi perlindungan dan pemberdayaan nelayan untuk peningkatan pendapatan nelayan, dan optimalisasi, serta penguatan perikanan budidaya untuk penyerapan lapangan kerja dan penyediaan sumber protein hewani untuk konsumsi masyarakat.
"Yang jelas semangat kami adalah bagaimana nelayan yang selama ini hidup dari kegiatan ini, gara-gara itu mati, dimatikan karena tidak boleh, kita hidupkan lagi supaya mereka bisa makan, bisa menyekolahkan anaknya dan bisa membangun daerahnya," pungkasnya.
(fdl/fdl)